Direktur Utama PT Internasional Green Energi (IGE) Dikki Akhmar menerima sertifikat Green Gold Label (GGL) yang diserahkan oleh Director Control Union Jurriaan Boer di Pullman Jakarta Central Park, Kamis (27/01/2022).
Industri

PT Internasional Green Energi Meraih Green Gold Label (GGL) Certificate, Bukti Penerapan Bisnis Berkelanjutan

  • Direktur Utama PT Internasional Green Energi (IGE) Dikki Akhmar menerima sertifikat Green Gold Label (GGL) yang diserahkan oleh Director Control Union Jurriaan Boer di Pullman Jakarta Central Park, Kamis, 27 Januari 2022.
Industri
Muhammad Farhan Syah

Muhammad Farhan Syah

Author

JAKARTA, 27 Januari 2022 – Seiring implementasi bisnis berkelanjutan yang telah dilakukan dalam beberapa tahun belakangan, PT Internasional Green Energi (IGE), salah satu penyedia energi biomassa terbesar di Tanah Air telah berhasil meraih Green Gold Label (GGL) Certificate. 

Berkat diraihnya sertifikat GGL, produksi cangkang sawit dari IGE kini dipastikan berasal dari sumber-sumber yang berkelanjutan.

Direktur Utama IGE Dikki Akhmar menjelaskan dikantonginya sertifikat GGL juga kini makin membuka akses perusahaannya untuk melakukan ekspor produk biomassa ke sejumlah negara impor utama seperti Jepang, dan Uni Eropa yang selama ini banyak memberikan persyaratan yang cukup ketat untuk menerima produk biomassa.

“Dengan sertifikat GGL ini, kami sudah memenuhi standar ketentuan internasional mengenai perlunya sertifikasi keberlanjutan terhadap produk-produk yang dijual atau diekspor. IGE artinya sudah kredibel untuk melakukan ekspor ke negara-negara yang mewajibkan sertifikasi keberlanjutan tersebut,” ungkap Dikki, saat membuka Ceremonial on Successful Certified of GGL Standard for IGE, di Pullman Jakarta Central Park, Kamis, 27 Januari 2022

Sertifikat GGL yang diterima oleh IGE diberikan oleh Control Union, badan sertifikasi yang berpusat di Zwolle, Belanda. Director of Control Union Jurriiaan Boer, dalam kesempatan serupa menjelaskan standardisasi GGL merupakan salah satu pionir skema sertifikasi berkelanjutan terhadap produk biomassa yang telah diakui dan diterapkan di seluruh dunia.

“Sertifikat GGL akan berlaku selama lima tahun sejak diterbitkan, dan tiap tahunnya akan dilakukan audit kembali. Proses audit standardisasi GGL dilakukan meliputi keterlacakan (tracebility) kebun sawit asal pasokan cangkang, utilitas produsen energi, termasuk data energi dan karbon yang harus disediakan dalam seluruh sistem rantai pasok,” ungkap Jurriiaan.

Sementara DIrektur IGE Tomoichi Yamaguchi juga menambahkan, Jepang menjadi salah satu negara yang akan mewajibkan impor produk energinya memiliki sertifikat berkelanjutan pada 2023 mendatang. Selain GGL, adapula sertifikasi Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), dan Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB).  

“Pada April 2023, Pemerintah Jepang mewajibkan impor energi ke negaranya harus memiliki salah satu sertifikat tersebut. kami memilih sertifikat GGL karena lebih praktis,” jelas Yamaguchi.

Jepang merupakan negara utama tujuan ekspor cangkang sawit nasional, dengan pangsa pasar mencapai 84,5% dari total ekspor cangkang sawit Indonesia. Oleh karenanya, pemenuhan standar GGL menjadi hal penting bagi para eksportir biomassa dari Indonesia. 

Potensi ekspor tersebut juga masih terbuka besar mengingat, pada 2030 pemerintah Jepang berkomitmen untuk menggunakan 24% pemenuhan energinya berasal dari energi baru dan terbarukan termasuk yang berasal dari biomassa.

Dikki menjelaskan peluang ini juga bakal bermanfaat untuk menambah penerimaan negara, alasannya karena Indonesia merupakan eksportir cangkang sawit terbesar di dunia, hal ini tak lain tak bukan karena Indonesia juga merupakan negara dengan perkebunan sawit paling besar di dunia.

“Produksi cangkang sawit di Indonesia kurang lebih mencapai 12 juta ton per tahun. Namun, baru sekitar 20-25% dari jumlah tersebut yang diekspor ke negara-negara pengguna, sementara sisanya dipakai di dalam negeri untuk kebutuhan sendiri, sebagian lagi tidak digunakan karena tidak komersil,” papar Dikki.

Artinya ada sekitar 2-2,5 juta ton cangkang sawit yang diekspor dari Indonesia tiap tahunnya. Dikki yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit (APCASI) menjelaskan dari volume ekspor menghasilkan devisa masuk kurang lebih US$ 300 juta. Merujuk data Kementerian Perindustrian pada tiga kuartal tahun lalu, ekspor sawit dari Indonesia nilainya telah mencapai US$ 284 juta, nilai tersebut meningkat lebih dari 24% (yoy) pada periode serupa.

Dengan potensi ekonomi tersebut, dukungan bagi para eksportir cangkang sawit dari pemerintah menjadi sangat penting kini. Apalagi ditambah dengan kepatuhan para eksportir terhadap ketentuan-ketentuan negara importir. 

Dikki pun mengaku setelah mengantongi sertifiakt GGL, IGE kini makin leluasa melakukan ekspor dan berkespansi ke negara-negara potensial lainnya.

“Kami belum lama ini juga telah menandatangani kontrak 15 tahun dengan salah satu powerplant terbesar di Jepang. Dengan sertifikat GGL ini tentu akan membuka lebih banyak peluang kontrak baru.” ujar Dikki.