Mahasiswa dan aktivis Greenpeace bersama Gregorius Yame dari Masyarakat Asli Papua Suku Awyu (kiri) bersolidaritas saat menghadiri sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta belum lama ini.
Hukum Bisnis

PTUN Jakarta Tolak Gugatan Perusahaan Sawit, Kemenangan Masyarakat Adat

  • Perusahaan kini tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 ha lahan hutan milik masyarakat adat.

Hukum Bisnis

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Pejuang lingkungan hidup dan pemilik tanah adat dari suku Awyu Papua Selatan menyambut antusias putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP).

Putusan yang memenangkan Menteri LHK (tergugat) dan masyarakat adat suku Awyu (tergugat intervensi) ini diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung, Selasa 5 September 2023. Vonis itu menyelamatkan 65.415 hektare (ha) hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP. 

Perusahaan kini tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 ha lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi. “Ini putusan yang kami tunggu-tunggu,” ujar Gergorius Yame, salah satu masyarakat Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut. 

Gergorius meminta perusahaan sawit jangan lagi mengganggu hutan dan tanah adat. Dia mengingatkan perusahaan agar mematuhi putusan tersebut. “Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan tidak niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP,” ujarnya dikutip dari greenpeace.org, Rabu 6 September 2023.

Sebagai informasi, PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu. Lewat gugatan tersebut, mereka menyoal surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan. 

Isi surat itu antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Gergorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu lainnya kemudian mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023. 

Dalam persidangan, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP. 

Kelola Hutan Adat

Dengan menjadi tergugat intervensi, Gergorius menyebut masyarakat adat telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan. “Sekarang saatnya Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu,”ujarnya.

Anggota tim kuasa hukum Masyarakat Awyu Sekar Banjaran Aji mengatakan masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri. “Demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata Sekar Banjaran Aji.

Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian perjuangan masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit. Perampasan hutan adat kini menjadi pola yang banyak terjadi di Tanah Papua, merujuk laporan Greenpeace Internasional.