Pukulan Terakhir Joe Biden Untuk Putin
- Gedung Putih mengumumkan bantuan keamanan ke Ukraina sebesar US$2,5 miliar atau sekitar Rp40 triliun (kurs Rp16.190). Selain itu Amerika juga menyediakan bantuan anggaran tambahan sebesar US$3,4 miliar.
Dunia
WASHINGTON- Di minggu-minggu terakhir kekuasaanya, Presiden Amerika Joe Biden mencoba memberi pukulan terakhir pada Rusia.
Gedung Putih mengumumkan bantuan keamanan ke Ukraina sebesar US$2,5 miliar atau sekitar Rp40 triliun (kurs Rp16.190). Selain itu Amerika juga menyediakan bantuan anggaran tambahan sebesar US$3,4 miliar. Dana ini digunakan untuk memperbaiki infrastruktur Ukraina yang rusak akibat perang. Dengan demikian gelombang terakhir bantuan ini mencapai hampir US$6 miliar. Atau sekitar Rp 97 triliun.
Untuk bantuan keamanan, pengumuman Biden mencakup bantuan militer senilai US$1,25 miliar yang ditarik dari persediaan Amerika. Sementara US$1,22 miliar berupa paket Inisiatif Bantuan Keamanan Ukraina (USAI). Di bawah USAI, peralatan militer diperoleh dari industri pertahanan atau mitra. Tidak diambil dari stok Amerika. Ini menjadikan butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk senjata tiba di medan perang.
- Uang Palsu di Gowa Berkualitas Rendah, Begini Cara Mengenalinya
- KRL Jabodetabek Beroperasi 24 Jam di Malam Tahun Baru, Tambah 66 Perjalanan
- Masuk Nominasi Tokoh Terkorup Dunia, Jokowi : Mana Buktinya?
“Departemen Pertahanan sedang dalam proses mengirimkan ratusan ribu peluru artileri, ribuan roket, dan ratusan kendaraan lapis baja. Bantuan ini diharapkan yang akan memperkuat posisi Ukraina saat menghadapi musim dingin,” katanya dikutip Reuters Selasa 31 Desember 2024.
Dengan paket bantuan terakhir ini maka Amerika telah menyetujui total bantuan sebesar US$175 miliar untuk Ukraina sejak invasi Rusia ke Ukraina hampir tiga tahun lalu. Ini setara dengan sekitar Rp2.828 triliun. Dana itu terdiri dari pendanaan anggaran lebih dari US$30 miliar, dan sekitar $61,4 miliar dalam bantuan keamanan ke Kyiv sejak dimulainya perang.
Hampir tiga tahun perang, Washington telah berkomitmen memberikan bantuan miliaran dolar untuk Ukraina. Tetapi tidak pasti apakah bantuan tersebut akan terus berlanjut dengan kecepatan yang sama di bawah Trump. Tokoh yang akan menggantikan Biden pada 20 Januari 2025.
Trump mengatakan ia ingin mengakhiri perang dengan cepat. Selama kampanye presiden, Trump mempertanyakan tingkat keterlibatan Amerika dalam konflik tersebut. Dia juga menyarankan sekutu Eropa harus menanggung lebih banyak beban keuangan.
Rusia Menolak Tawaran Trump
Sejumlah laporan menyebutkan Trump akan menawarkan dua hal kepada Rusia untuk menghentikan perang. Pertama, penundaan keanggotaan Ukraina di NATO hingga 20 tahun. Kedua, penempatan pasukan Eropa di Ukraina untuk menjaga gencatan senjata.
Tetapi segera Rusia menolak usulan tersebut. Pada interaksi pers tahunannya tanggal 26 Desember Presiden Rusia Vladimir Putin menolak gagasan penangguhan keanggotaan Ukraina di NATO akan cukup memuaskan bagi Moskow.
Putin mengatakan meskipun ia tidak mengetahui secara spesifik rencana Trump, Presiden saat ini Joe Biden telah memberikan saran serupa pada tahun 2021. Yakni untuk menunda penerimaan Ukraina selama 10 hingga 15 tahun. “Tidak ada bedanya apakah hari ini atau 10 tahun lagi. Rusia akan menolak Ukraina masuk NATO,” katanya.
Kantor berita milik negara Rusia TASS mengutip Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov juga menegaskan kembali penolakan Putin terhadap beberapa proposal Trump.
- Rekomendasi 7 Film Horor Indonesia Tayang Bioskop Januari 2025
- 12 Rekomendasi Tempat Wisata di Kabupaten Semarang untuk Libur Akhir Tahun
- Emiten Ini Berpotensi Backdoor Listing untuk Raksasa China CNGR Group
Menurutnya Rusia tentu tidak puas dengan usulan yang diajukan oleh perwakilan tim presiden terpilih untuk menunda keanggotaan Ukraina di NATO selama 20 tahun. Juga mengerahkan kontingen penjaga perdamaian pasukan Inggris dan Eropa di Ukraina.
Lavrov menambahkan bahwa Rusia belum menerima sinyal resmi apa pun dari Amerika terkait penyelesaian Ukraina. Diplomat Rusia itu menjelaskan bahwa hingga pelantikan Trump di Washington pada 20 Januari, hanya pemerintahan Biden yang diberi wewenang untuk berinteraksi dengan Moskow.
Menanggapi sikap Rusia tersebut Timothy Ash, seorang peneliti asosiasi dalam program Rusia dan Eurasia di Chatham House mengatakan itu adalah hal yang wajar. Dia menilai Putin menggertak. Tetapi dia menginginkan kesepakatan.
“Putin akan bersikap keras menjelang perundingan dengan menolak segalanya. Tetapi dia membutuhkan kesepakatan karena tidak dapat mempertahankan perang yang lama mengingat banyaknya korban,” kata Ash kepada Al Jazeera Senin 30 Desember 2024.
Dan jika Trump menawarkan Putin kesepakatan di mana Rusia dapat secara efektif mempertahankan wilayah Ukraina yang saat ini dikuasainya. Moskow menurut Ash kemungkinan akan menerimanya.
Dia meyakini Trump berada di posisi yang kuat sementara Putin berada di posisi yang lemah. Trump dapat mempertahankan perang yang panjang karena Amerika menang dari penjualan pertahanan yang besar tanpa korban jiwa.
Ukraina sendiri sudah menyatakan ingin gencatan senjata. Trump bertemu Zelenskyy dan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 7 Desember di Paris. Setelah pertemuan trilateral tersebut, Trump mengatakan kepada New York Post bahwa Zelenskyy menginginkan gencatan senjata. Ia ingin berdamai. Namun mereka tidak membicarakan detailnya.
Ukraina sebelumnya menekankan bahwa setiap kesepakatan damai harus melibatkan pembatalan aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina. Termasuk Krimea, yang dianeksasi pada tahun 2014. Namun, dalam wawancara dengan Sky News yang diterbitkan pada 29 November, Zelenskyy mengubah pendiriannya. Menurutnya jika Ukraina ingin menghentikan fase panas perang, mereka perlu mengambil alih wilayah Ukraina yang kita kuasai di bawah payung NATO. Ukraina perlu melakukannya dengan cepat. Dan Ukraina dapat merebut wilayah yang diduduki Rusia dengan cara diplomatik.
Sementara negara-negara anggota NATO telah memastikan bahwa Ukraina berada di jalur yang tidak dapat diubah untuk bergabung dengan aliansi tersebut. Namun mereka berhati-hati untuk menerima Ukraina saat negara itu masih berperang dengan Rusia. Hal ini karena perjanjian NATO memuat klausul pertahanan bersama yang menetapkan bahwa semua anggota dianggap diserang jika salah satu anggota diserang. Masuknya Ukraina ke dalam NATO akan menyiratkan bahwa semua anggota NATO sedang berperang dengan Rusia.
Dengan penolakan Rusia atas kompromi mengenai keanggotaan NATO meski ditunda dua dekade, menjadi tidak jelas bagaimana Kyiv dan Moskow dapat kembali ke meja perundingan. Keanggotaan NATO adalah inti dari apa yang telah didorong Zelenskyy sebagai rencana perdamaiannya.
Namun menurut Ash, Zelenskyy mungkin juga bersedia berkompromi soal keanggotaan NATO. Namun Zelenskyy tidak akan berkompromi soal masalah keamanan Ukraina. Ukraina harus diyakinkan bahwa dalam kesepakatan apa pun Putin tidak bisa begitu saja menyerang lagi. Itu berarti jaminan keamanan bilateral dari Barat. Atau jaminan mutlak bahwa mereka akan memberi Ukraina semua alat yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri. Ini seperti yang diberikan kepada Israel atau Korea Selatan.