Punya Cicilan Utang Rp800 T per Tahun, INDEF: Makan Bergizi Gratis Bikin APBN Kritis
- Negara masih memiliki beban utang jatuh tempo kurang lebih Rp800 triliun rupiah per tahun selama tiga tahun berturut-turut dari 2025-2027.
Nasional
JAKARTA - Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan anggaran negara utamanya untuk program makan bergizi gratis.
Sebelumnya Kementrian Keuangan sudah menetapkan kucuran anggaran program makan bergizi gratis sebesar Rp71 triliun untuk tahun anggaran 2025.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan, negara masih memiliki beban utang jatuh tempo kurang lebih Rp800 triliun rupiah per tahun selama tiga tahun berturut-turut dari 2025-2027.
Oleh karena itu menurut Eko diperlukan kriteria selektif untuk menentukan siapa yang akan menerima program makan bergizi gratis tersebut.
“Tentu pemerintah harus selektif, ada kriteria yang harus diterima siapa, daerah mana, masyarakat mana yang menerima atau anak sekolah mana, harus dibangun kriteria itu, karena dari 400 triliun baru dikucurkan 71 triliun itu berat,” terang Eko kepada TrenAsia, Selasa 2 Juli 2024.
Menurut Eko anggaran yang baru dikucurkan Rp71 triliun saja sudah cukup memberatkan APBN, sehingga menyebabkan defisit anggaran meningkat menjadi 2,82%.
“Rp71 triliun aja berat sampai defisit anggaran naik jadi 2,82% sampai sebesar itu defisit yang ditingkatkan untuk mengakomodasi pemerintahan baru artinya pemerintah harus selektif mengelola anggaran,” tambah Eko.
- Bea Masuk 200 Persen RI ke China Dinilai Rawan Serangan Balik
- Harga Nikel Bebani Laba INCO, Analis Ungkap Prospeknya
- Sekali Gebuk, Rudal Iskander Rusia Bikin 6 Su-27 Flanker Ukraina Berantakan
Diperlukan Pengorbanan
Untuk melanjutkan program, diperlukan pengorbanan dalam alokasi anggaran.
Namun, Eko menduga jika program makan siang gratis mendapatkan respon positif dan populer, para politisi kemungkinan akan memilih untuk melanjutkannya.
“Kalau membiayai program yang tidak terlalu berdampak pada perekonomian dengan utang tentu sustainabilitynya rendah, tapikalo sustainabilitynya rendah dan popular sebagai politisi pasti mengambil jalan untuk tetap dilanjutkan,” ungkap Eko.
Keputusan ini tentunya akan memengaruhi alokasi anggaran ke sektor lain dan berpotensi menambah beban utang negara.
Menurut Eko, pengalokasian dana sebesar 800 triliun rupiah untuk membayar utang sudah mencapai 26% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beban ini belum termasuk alokasi 20% yang diwajibkan untuk sektor pendidikan, sesuai dengan amanat undang-undang.
Dengan demikian, sebagian besar anggaran negara telah terserap untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang dan pendidikan.
Akibatnya, ruang fiskal untuk membiayai program-program lainnya menjadi sangat terbatas.
Pemerintah harus cermat dalam menentukan prioritas pengeluaran agar dapat mengoptimalkan penggunaan anggaran yang ada tanpa memperbesar defisit yang sudah ada.
- Bea Masuk 200 Persen RI ke China Dinilai Rawan Serangan Balik
- Harga Nikel Bebani Laba INCO, Analis Ungkap Prospeknya
- Sekali Gebuk, Rudal Iskander Rusia Bikin 6 Su-27 Flanker Ukraina Berantakan
Potensi Utang dan Politik Anggaran
Eko menuturkan pemerintah tidak akan mengambil langkah untuk memotong anggaran instansi negara karena risiko politik yang tinggi.
Memotong anggaran satu kementerian atau lembaga dapat menimbulkan kecemburuan antar kementerian dan lembaga lainnya, yang dapat memicu ketidakstabilan politik dan birokrasi.
Setiap kementerian dan lembaga memiliki kepentingan dan program prioritasnya masing-masing, sehingga pemotongan anggaran bisa menimbulkan konflik internal dan melemahkan kohesi antar institusi pemerintah.
“Dugaan saya arahnya ngga akan memotong anggaran instansi negara karena kan beresiko kalo anggaran Kementrian/Lembaga itu dipotong salah satu. Politik anggarannya satu kena, kena semua, kalau yang kena satu saja bisa menimbulkan kecemburuan antar kementrian Lembaga,” tambah Eko.
Sejauh ini, pengeluaran sebesar Rp71 triliun rupiah sudah cukup untuk memperlebar defisit anggaran, hal tersebut menjadi indikator potensi penambahan utang baru yang tidak dapat dihindari.
Hal ini terjadi karena tidak ada sektor atau program yang bersedia dikorbankan, termasuk Program Strategis Nasional (PSN) dan subsidi yang dianggap sangat penting.
PSN memiliki peran krusial dalam pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi, sementara subsidi berfungsi untuk menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan masyarakat.
Karena kedua komponen ini sangat vital, pemotongan anggaran di sektor-sektor tersebut dianggap tidak layak dan dapat menimbulkan gejolak.