LOGO PKS.jpg
Nasional

Anomali PKS: Punya Kader Militan Tapi Keok di Kandang Sendiri

  • Jakarta, Depok, dan Jawa Barat merupakan wilayah yang selama ini identik dengan PKS. Namun, hasil Pilkada 2024 menunjukkan cerita yang berbeda.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Kekalahan itu adalah guru terbaik. Mungkin kalimat tersebut cocok untuk menggambarkan hasil Pilkada Serentak 2024 bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagai salah satu partai besar dengan basis tradisional yang kuat, terutama di wilayah Jakarta, Depok, dan Jawa Barat, kekalahan di beberapa daerah ini menjadi sinyal bagi PKS untuk melakukan refleksi mendalam. 

Apa yang salah? Dan, yang lebih penting, ke mana arah langkah mereka ke depan? "Memang mereka mampu rebound di Pilpres, tetapi yang terjadi hari ini terbukti kekuatan PKS itu di organisasional dan bukan personal. Padahal pilkada itu figur personal menentukan," ungkap pengamat politik Universitas Paramadina, Arif Susanto, dikutip, 28 November 2024.

Jakarta, Depok, dan Jawa Barat merupakan wilayah yang selama ini identik dengan PKS. Namun, hasil Pilkada 2024 menunjukkan cerita yang berbeda. Di Jakarta, pasangan Ridwan Kamil-Suswono gagal meraih kemenangan meskipun PKS sebelumnya tampil sebagai pemenang Pileg 2024. 

Di Depok, yang selama hampir dua dekade menjadi "Kota PKS", pasangan Imam Budi Hartono-Ririn Farabi (PKS-Golkar) kalah dari pasangan Supian-Chandra. Kekalahan ini dianggap mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap minimnya perubahan signifikan di Depok meskipun PKS telah memimpin cukup lama.

"Dari era Nur Mahmudi Ismail, sebenarnya Depok tidak mengalami lompatan signifikan. Ada perubahan, betul. Kemajuan terjadi, iya. Pembangunan dilakukan, juga benar. Tapi tidak ada perubahan yang signifikan," tambah Arief.

Situasi serupa terjadi di Jawa Barat. Ahmad Syaikhu, Presiden PKS sekaligus calon gubernur yang diusung bersama Ilham Habibie (NasDem), harus mengakui keunggulan telak pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan. Padahal, Jawa Barat adalah provinsi dengan populasi pemilih terbesar di Indonesia dan menjadi barometer politik nasional.

Faktor Kekalahan

Banyak analisis muncul terkait penyebab kekalahan ini. Tokoh-tokoh yang diusung PKS dianggap kurang kharismatik dan gagal menarik perhatian pemilih. Selain itu, lemahnya koalisi yang dibentuk memperburuk peluang PKS untuk menang. 

"Ini berbeda dengan Suswono. Bukan hanya keterkenalannya di Jakarta rendah, tetapi juga membuat blunder-blunder. Terlihat bahwa kantong penting pemilih PKS, lebih masuk ke Rano," ungkap Arief.

Konflik internal partai juga disebut menjadi faktor yang melemahkan mesin politik PKS, terutama setelah pembentukan Partai Gelora yang memecah suara konstituen tradisional. "Kali ini pertarungan faksinya bertarung sangat keras. Itu punya pengaruh atas keterpilihan wakil PKS,” terang Arief.

Di sisi lain, dinamika politik pemilih Indonesia kini semakin kompleks. Pendekatan yang diterapkan pasangan lawan menjadi pembelajaran berharga. Misalnya, pasangan Pramono-Rano di Jakarta yang berhasil menghilangkan sekat-sekat identitas partai dan memanfaatkan dukungan dua mantan gubernur, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama. 

Strategi ini membuat mereka diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. "Boleh jadi wakil PKS kalah karena split voters. Pilihan orang terhadap partai, tidak serta merta membuat dia melakukan pilihan ke figur yang dicalonkan partai di Pilkada," papar Arief.

Kader PKS: Simbol Militansi dan Ketahanan Politik

Militansi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi salah satu pilar kekuatan utama partai ini sejak berdirinya. Presiden PKS saat itu, Sohibul Iman, dalam temu kader di Batam pada tahun 2018, dengan bangga menyebut bahwa kader PKS diakui sebagai yang paling militan oleh berbagai pengamat politik. 

Dedikasi mereka untuk turun ke lapangan, berinteraksi langsung dengan masyarakat, dan menyuarakan aspirasi partai menunjukkan ketangguhan serta konsistensi yang jarang ditemui di partai politik lain. 

Militansi ini bukan hanya soal kesetiaan, tetapi juga mencerminkan kemampuan mereka menghadapi tantangan politik, baik di masa sulit maupun saat partai berada di puncak popularitas. 

Kekuatan tersebut menjadi alasan mengapa PKS kerap mampu mengubah prediksi survei menjadi kemenangan nyata di pemilu, menjadikan kader sebagai ujung tombak perjuangan dakwah politik.

“Faktor kemenangan PKS, 70 persennya ditentukan oleh interaksi dengan masyarakat, maka kader PKS harus lebih intens dalam berinteraksi,” ujar Sohibul Iman dengan bangga.