Rafah, Nadi Gaza yang Tersumbat
- GAZA- Penyaluran bantuan ke Gaza belum berhasil meski daerah itu dilanda krisis kemanusiaan. Ini setelah Upaya pembukaan penyeberangan Rafah sejauh i
Dunia
GAZA- Penyaluran bantuan ke Gaza sangat tergantung pada penyeberangan Rafah. Sejauh ini upaya membuka jalur itu sangat sulit karena penolakan Israel.
Ada tanda-tanda penyeberangan itu akan dibuka. Ini setelah kunjungan Presiden Amerika Joe Biden ke Israel. Tel Aviv mengatakan akan mengizinkan bantuan kemanusian masuk ke Gaza.
Mesir sebelumnya mengatakan Israel tidak mengizinkan pembukaan satu-satunya penyeberangan yang menghubungkan Gaza dengan dunia luar. Ratusan truk bantuan kemanusiaan kini menumpuk di dekat pintu masuk tersebut. Tetapi kenapa pembukaan tersebut menjadi sangat rumit?
Penyeberangan Rafah terletak di bagian selatan Gaza yang berbatasan dengan semenanjung Sinai Mesir. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyeberang ke Mesir. Juga berfungsi sebagai penghubung penting antara Gaza dan seluruh dunia.
- Jokowi Minta BRI Tidak Dipolitisasi
- Produksi Nikel Vale Indonesia Tembus 51,6 Ribu Ton pada Kuartal III-2023
- Konflik Israel-Palestina Bikin Harga Minyak Meroket, Distribusi Pertalite Diperketat
Sebagaimana dilaporkan Al Jazeera, baik Israel maupun Mesir menerapkan kontrol ketat terhadap lalu lintas orang dan barang. Ini sebagai bagian dari blokade yang diberlakukan pada tahun 2007 setelah Hamas berkuasa.
Rafah ditutup setelah dimulainya konflik terakhir. Ini karena Israel berulang kali mengebomnya . Mesir mengklaim jalur penyeberangan di sisinya tetap beroperasi. Namun serangan udara Israel telah merusak infrastruktur di sisi Palestina secara signifikan.
Semenanjung Sinai yang juga berbatasan dengan Israel terletak di antara Laut Mediterania di utara dan Laut Merah di selatan. Sebagai satu-satunya bagian Mesir yang terletak di Asia, Mesir bertindak sebagai jembatan darat antara Asia dan Afrika.
Sinai dikuasai oleh Kesultanan Ottoman selama berabad-abad hingga abad ke-19. Kemudian jatuh ke tangan penjajah Inggris yang mempertahankan kendali hingga pertengahan abad ke-20.
Sinai direbut oleh Israel setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967. Tel Aviv kemudian mengembalikan Sinai ke Mesir setelah Perjanjian Camp David yang ditengahi oleh Amerika Serikat. Mesir kemudian menjadi negara Arab pertama yang secara resmi mengakui Israel sebagai bagian dari perjanjian damai. Israel sepenuhnya menarik diri dari semenanjung Sinai pada tahun 1982.
Jalur Gaza di bawah kendali Mesir dari tahun 1948 hingga 1967 kemudian berada di bawah pendudukan Israel. Israel kemudian mempertahankan kekuasaannya di Gaza selama sekitar 40 tahun. Sebelum menarik diri di bawah tekanan internasional pada tahun 2005.
Ratusan ton bantuan dengan lebih dari 100 truk telah tiba di Sinai dari berbagai negara termasuk Yordania dan Turki. Mesir juga membuka bandaranya di El Arish untuk menampung bantuan. Truk-truk tersebut berjejer di bagian utara semenanjung dekat Gaza dan siap masuk melalui penyeberangan Rafah setelah tercapai kesepakatan untuk membukanya.
Namun meskipun ada kunjungan pejabat tinggi Amerika Serikat dan Eropa ke Mesir, Israel menolak jalur aman bagi truk bantuan tersebut. Ini menjadikan penyeberangan tetap ditutup.
Hal ini berarti bahwa orang asing dan warga Palestina berkewarganegaraan ganda yang terjebak di daerah kantong yang diblokade juga tidak dapat menyeberang ke Mesir.
Sejarah Buruk
Situasinya berbeda bagi warga Palestina yang tidak mempunyai kewarganegaraan lain. Karena Mesir tidak berencana mengizinkan mereka masuk berdasarkan pertimbangan keamanan nasional.
Mesir telah menampung sekitar sembilan juta migran dari Sudan, Suriah, Yaman, Libya dan tempat lain. Negara ini juga sedang menghadapi krisis ekonomi. Mereka enggan membuka penyeberangan Rafah untuk ratusan ribu pengungsi lagi.
Alasan keengganan Mesir terutama terjadi karena secara historis. Sebagian besar pengungsi Palestina tidak dapat kembali ke rumah mereka. Contoh jelas, sebagian besar penduduk Gaza adalah pengungsi dari Perang Arab-Israel tahun 1948. Saat itu mereka diusir secara etnis dari rumah mereka yang kini menjadi bagian dari Israel.
Baik Mesir maupun Yordania mengatakan warga Palestina harus tetap tinggal di tanah air mereka agar dapat mencapai tujuan mereka memiliki negara Palestina. Krisis kemanusiaan di Gaza harus diselesaikan di Gaza.