Raksasa Properti China Terus Meningkatkan Performa
- Evergrande juga mencatatkan kerugian bersih gabungan sebesar US$81 miliar (Rp1,23 kuadriliun) pada rentan waktu antara tahun 2021-2022.
Properti
SHENZHEN - Evergrande Group, raksasa industri properti asal China, dilaporkan terus mengalami peningkatan performa.
Pengembang properti yang disebut menjadi yang paling banyak berhutang di dunia ini catatkan kerugian bersih yang lebih kecil pada paruh pertama 2023. Hal tersebut disinyalir karena adanya peningkatan pendapatan yang dicatatkan oleh perusahaan.
Dikutip dari Reuters Senin 29 Agustus 2023, pada periode Januari hingga Juni tahun ini, Evergrande mencatatkan kerugian yang hanya US$4,53 miliar atau setara dengan Rp67,95 triliun (Kurs Rp15.000). Hal itu menurun setengahnya lebih dibanding kerugian pada periode yang sama di tahun sebelumnya dengan US$9,11 miliar (Rp136,65 triliun).
Perusahaan pengembang properti ini disebut menjadi pusat masalah China dalam krisis sektor properti yang berlangsung sejak 2021. Perusahaan telah mengalami sejumlah masalah seperti gagal bayar utang, properti yang tidak rampung pembangunannya, dan supplier yang belum dibayar. Serangkaian masalah tersebut pada gilirannya menyebabkan kepercayaan konsumen terhadap China menjadi hancur.
- Wujud Dukung Transisi Energi, PLN Gunakan Kendaraan Listrik untuk Operasional
- Prigozhin Dipastikan Tewas, Anggota Wagner Wajib Lakukan Sumpah Setia
- Penumpang KRL Solo-Yogyakarta Terus Meningkat
Di bulan ini, situasi serupa terjadi pada perusahaan pengembang swasta terbesar di China, Country Garden. Perusahaan mengalami keterlambatan dalam pembayaran obligasi yang mereka keluarkan. Kejadian ini memunculkan kekhawatiran bahwa dampaknya mungkin akan menyebar ke sektor lainnya mengingat adanya perlambatan permintaan di dalam dan luar negeri, aktivitas manufaktur yang sedang tidak stabil, serta peningkatan angka pengangguran.
Dalam pengajuan pada 27 Agustus 2023, Evergrande menyebutkan memiliki pendapatan semester pertama yang naik sebesar 44% dari tahun sebelumnya menjadi US$17,60 miliar (Rp264 triliun). Peningkatan tersebut disebabkan perusahaan yang secara aktif merencanakan dimulainya kembali penjualan dan berhasil merebut ledakan pendek pasar properti yang muncul pada awal tahun. Pemasukan uang naik 6,3% menjadi US$1,83 miliar (Rp27,45 triliun).
Liabilitas mengalami penurunan dari US$334,98 miliar (Rp5,11 kuadriliun) menjadi US$328,12 miliar (Rp5,01 kuadriliun) pada akhir 2022. Total aset juga mengalami penyusutan dari US$252,61 miliar (Rp3,85 kuadriliun) menjadi US$238,88 miliar (Rp3,65 kuadriliun).
Evergrande juga mencatatkan kerugian bersih gabungan sebesar US$81 miliar (Rp1,23 kuadriliun) pada rentan waktu antara tahun 2021-2022.
Evergrande menjelaskan prospek keberlanjutan operasional perusahaan akan bergantung pada sejauh mana pelaksanaan rencana restrukturisasi utang asing berhasil, serta hasil kesepakatan yang tercapai melalui negosiasi dengan pemberi pinjaman lain untuk perpanjangan pembayaran.
Pada bulan ini, Evergrande telah mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat sebagai bagian dari upaya restrukturisasi utang yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Keputusan mengenai rencana restrukturisasi utang asing yang melibatkan instrumen senilai US$31,7 miliar (Rp484,38 triliun), termasuk obligasi, jaminan, dan kewajiban pembelian kembali, akan diputuskan pengadilan di Hong Kong dan Kepulauan Cayman pada awal September mendatang.