<p>Tanaman Tembakau/ Sumber: ahlitani.com</p>
Industri

Ratifikasi FCTC Bisa Kurangi Impor dan Dongkrak Kesejahteraan Petani Tembakau

  • JAKARTA – Indonesia memiliki lebih dari 60 juta perokok dan salah satu tingkat perokok tertinggi di dunia, tetapi merupakan satu dari sembilan negara yang belum menandatangani atau meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Perjanjian ini, dinegosiasikan di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia  (WHO). Adapun tujuan dari FCTC adalah untuk memaksa pihak yang menandatangani untuk […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Indonesia memiliki lebih dari 60 juta perokok dan salah satu tingkat perokok tertinggi di dunia, tetapi merupakan satu dari sembilan negara yang belum menandatangani atau meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Perjanjian ini, dinegosiasikan di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia  (WHO). Adapun tujuan dari FCTC adalah untuk memaksa pihak yang menandatangani untuk menekan konsumsi tembakau di negara mereka.

Keengganan meratifikasi FCTC didorong oleh berbagai alasan, termasuk kekhawatiran akan dampak negatif terhadap kesejahteraan petani tembakau. Padahal, penelitian yang diterbitkan oleh The Conversation justru menunjukkan bahwa importasi tembakau merupakan ancaman utama bagi petani tembakau di Indonesia.

“Pengamatan kami terhadap empat negara lain yang telah meratifikasi FCTC (Bangladesh, Mozambik, Pakistan, dan Zimbabwe) menunjukkan bahwa perjanjian tersebut sebenarnya akan mengontrol impor tembakau. Serta mengurangi konsumsi tembakau secara keseluruhan,” tulis The Conversation, dikutip Kamis, 17 September 2020.

Dari penelitian pada 2019 dengan menganalisis data usahatani tembakau Indonesia dari 1990 – 2016, ditemukan bahwa Indonesia sangat bergantung pada produk tembakau impor. Termasuk di dalamnya daun tembakau Virginia dari Cina, Brasil, dan AS.

Sementara, pertumbuhan produksi lokal stagnan dengan pertumbuhan rata-rata 1,65% selama 27 tahun. Di sisi lain, impor tembakau Indonesia justru tumbuh lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1990.

Impor yang lebih tinggi menyebabkan permintaan produk tembakau lokal melemah. Artinya, pihak yang dirugikan adalah petani tembakau lokal.

Sementara Indonesia masih berjuang untuk mengontrol impor tembakau, beberapa negara pasar tembakau besar seperti Zimbabwe, Mozambik, Pakistan, dan Bangladesh ternyata telah meningkatkan produksi tembakau lokal setelah meratifikasi FCTC.

“Impor tembakau ke negara-negara ini turun setelah perjanjian itu diratifikasi.”

Setidaknya, penelitian ini memaparkan ada dua cara FCTC dapat mengontrol impor tembakau. Pertama, FCTC mempromosikan pajak tembakau yang tinggi, termasuk tarif impor, di mana tarif yang lebih mahal akan membatasi impor tembakau.

Kedua, FCTC mengurangi konsumsi tembakau lokal. Begitu permintaan lokal turun, impor tembakau akan mengikuti karena penurunan permintaan rokok akan menurunkan permintaan daun tembakau.

Dengan begitu, permintaan daun tembakau impor juga akan menurun. Studi ini terlah terkonfirmasi terhadap empat negara yang juga telah membuktikan hal tersebut.

“Meskipun produksi tembakau lokal relatif tinggi, empat negara yang kami amati berhasil menjaga rasio impor-ekspor tetap rendah,” tambah peneliti.

Hasil di Beberapa Negara

Zimbabwe, salah satu pengekspor tembakau tertinggi di dunia dengan hampir 92% dari produksi tembakaunya diekspor, meratifikasi FCTC pada 2014. Rokok di Zimbabwe menjadi kurang terjangkau antara 2014 dan 2016 menyusul penerapan pajak tembakau yang lebih tinggi.

Pajak tembakau yang lebih tinggi menurunkan konsumsi rokok, yang pada akhirnya memotong impor.

Ini juga berlaku untuk Mozambik, negara pengekspor tembakau bersih. Mozambik mampu menaikkan harga rokok hingga 85% setelah penandatanganan FCTC.

Kenaikan harga rokok menyebabkan penurunan permintaan tembakau lokal dan dengan demikian menurunkan permintaan impor tembakau.

Selanjutnya, Bangladesh terkenal dengan alternatif pertanian tembakau. Petani tembakau Bangladesh beralih dari tembakau ke tanaman pangan seperti kentang, melon, dan kacang Prancis. Bangladesh sendiri telah meratifikasi FCTC pada tahun 2005.

Sejak itu, negara tersebut telah secara signifikan mengurangi prevalensi merokok dari 28,2% pada tahun 2005 menjadi 23% setelah dikeluarkannya Undang-Undang Pengendalian Tembakau pada 2005 setelah ratifikasi.

Undang-undang tersebut memberlakukan pajak tembakau yang lebih tinggi, yang mengurangi konsumsi. Penurunan konsumsi tembakau menyebabkan penurunan impor tembakau.

Sementara itu, Pakistan meratifikasi FCTC pada 2004 dan relatif ketat dalam implementasi protokol perjanjian tersebut. “Dari negara-negara yang kami lihat, Pakistan adalah satu-satunya yang menerapkan kebijakan sepenuhnya tentang lingkungan bebas rokok, peringatan kesehatan, dan kampanye anti-tembakau.”

Hal ini memungkinkan Pakistan mengurangi penggunaan tembakau dari 22,7% pada tahun 2005 menjadi 20,1% pada tahun 2016. Penurunan konsumsi tembakau memudahkan Pakistan untuk mengendalikan pertumbuhan impor tembakau karena permintaan produk lokal dan impor di Pakistan menurun.

Impor tembakau Pakistan hanya menyumbang 1,7% dari konsumsi lokal pada tahun 2016.

Sejumlah Rekomendasi

Kurangnya pengawasan terhadap tembakau telah membebani perekonomian Indonesia. Konsumsi tembakau yang meningkat telah menyebabkan impor tembakau meningkat.

Untuk itu, ratifikasi FCTC dapat membantu mengontrol konsumsi tembakau dan mengurangi impor tembakau. Meratifikasi FCTC adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi impor tembakau karena juga memberlakukan penerapan tarif impor tembakau.

Dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia tidak hanya membantu petani tembakau lokal dengan memberlakukan tarif impor tetapi juga mengontrol konsumsi tembakau.