Pasar Modal

Raup Dana Segar di Tengah Sanksi Barat, Perusahaan Rusia Terbitkan Obligasi dalam Satuan Yuan

  • Sejumlah perusahaan asal Rusia masih berupaya meraup dana segar dari Investor asing di tengah sanksi ekonomi yang tengah dijatuhkan ke negaranya
Pasar Modal
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

MOSKOW- Sejumlah perusahaan asal Rusia masih berupaya meraup dana segar dari Investor asing di tengah sanksi ekonomi yang tengah dijatuhkan ke negaranya.

Tak kehabisan akal, perusahaan Rusia memanfaatkan mata uang China, Yuan untuk menerbitkan sejumlah obligasi.  Aksi ini dilakukan oleh beberapa perusahaan komoditas asal Rusia seperti Rosneft, Polyus, dan Rusal.

Mengutip Insider pada Rabu, 14 September 2022, raksasa minyak milik Rusia, Rosneft  menawarkan obligasi senilai 15 miliar yuan aau kisaran Rp32,1 triliun (asumsi kurs Rp2143 per yuan). Kemudian pada Agustus lalu, produsen emas terbesar di Rusia, Polyus dilporkan menerbitkan obligasi senilai  4,6 miliar yuan atau setara Rp9,8 triliun.

Pada Juli, perusahaan alumuniun Rusia, Rusal, menerbitkan obligasi senilai 2 miliar yuan atau setara Rp4,8 triliun. Menariknya, Rusal berhasil meraup dana lebih banyak lantaran permintaan terhadap obligasi dua kali lipat lebih banyak dari jumlah yang ditawarkan.

Direktur keuangan Rusal, Alexei Grenkov mengatakan penawaran surat utang dalam bentuk Yuan ini merupakan hal wajar. Terlebih negaranya saat ini sedang dalam kondisi tidak biasa.

"Tampaknya wajar bagi kami untuk memilih penempatan obligasi berdenominasi yuan, mengingat situasi saat ini di pasar keuangan," kata Grenkov sepertu dikutip TrenAsia.com.

Melihat adanya celah untuk pertumbuhan ekonomi Rusia meski tengah dikenakan sanksi, kini Kementerian Keuangan Rusia juga mempertimbangkan untuk menerbitkan obligasi dalam yuan China. Mengutip media setempat, Vedomosti, prosesnya bisa memakan waktu hingga dua tahun.

Ketertarikan Rusia pada penyelesaian dalam mata uang yuan datang setelah beberapa bank Rusia dilarang mengakses SWIFT, layanan pesan berbasis di Belgia yang memungkinkan bank di seluruh dunia berkomunikasi tentang transaksi lintas batas.

Untung saja, Rusia dan China telah mencoba untuk membangun alternatif untuk melawan hegemoni dolar AS selama bertahun-tahun. Alhasil saat ini, mereka  mengambil kesempatan ini untuk meningkatkan penggunaan sistem pembayaran alternatif. Ditambah lagi, perdagangan antara keduanya sedang berkembang.

Ekspor Rusia ke China tercatat naik 60% pada Agustus dari tahun lalu. Sementara pengiriman China ke Rusia tumbuh 27% pada periode yang sama menurut data dari Badan Bea Cukai China.

Awal bulan ini, raksasa energi negara Rusia Gazprom bahkan mengatakan akan mulai menerima pembayaran rubel dan yuan, bukan euro, untuk ekspor gas alam ke China.

Hubungan antara kedua negara diprediksi akan semakin dalam minggu ini. Sebab, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping diperkirakan akan bertemu pada pertemuan puncak regional di Asia Tengah.