<p>Ilustrasi skor kredit di pinjaman online fintech P2P Lending / Shutterstock</p>
Nasional & Dunia

Regulasi Fintech OJK Belum Memberikan Kepastian Hukum

  • JAKARTA – Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim memandang, regulasi financial technology (fintech) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan kepastian hukum bagi konsumen. “Pasalnya, pernah ada pengaduan masuk ke BPKN yang coba kami konfirmasi ke OJK, tetapi ternyata otoritas tersebut hanya mengawasi fintech yang ilegal. Di luar itu, tidak termasuk radarnya,” […]

Nasional & Dunia
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim memandang, regulasi financial technology (fintech) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan kepastian hukum bagi konsumen.

“Pasalnya, pernah ada pengaduan masuk ke BPKN yang coba kami konfirmasi ke OJK, tetapi ternyata otoritas tersebut hanya mengawasi fintech yang ilegal. Di luar itu, tidak termasuk radarnya,” kata dia dalam diskusi daring “Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi COVID-19, Selasa, 8 Desember 2020.

Menurutnya, belum maksimalnya peran OJK juga terlihat dari temuan fintech ilegal yang terus bertambah. Seperti diketahui, sepanjang Oktober 2020 Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK kembali memblokir 206 entitas fintech ilegal.

Pemblokiran tersebut dilakukan melalui peningkatan patroli siber (cyber patrol). Melalui temuan tersebut, penutupan akses fintech ilegal sejak 2018 pun bertambah mencapai 2.923 entitas.

Persoalan Fintech

Rizal mengungkapkan, rata-rata indeks inklusi keuangan Indonesia di bawah 50% tergolong rendah di wilayah Asia Tenggara. Apabila dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, kedua negara ini memiliki indeks inklusi keuangan masing-masing 82% dan 85%.

Dengan kondisi tersebut, kata dia, apabila masyarakat dibombardir dengan kehadiran pinjaman online (pinjol) yang tidak terkendali, maka masyarakat akan terjebak dalam lingkaran utang.

“Ketika utang sudah menumpuk, masyarakat pun akan terjerumus ke dalam jurang kemiskinan,” ujar Rizal.

Meskipun demikian, ia mengungkapkan bukan berarti perkembangan industri fintech tidak bagus, tetapi OJK perlu mengedukasi lebih optimal.

Menurut Rizal, banyak risiko yang muncul atas layanan pinjol, salah satunya adalah bunga pinjaman yang sangat tinggi. Tidak seperti suku bunga perbankan, suku bunga pinjol yang ditawarkan berada di kisaran 14%-30% per bulan. Ditambah, denda tagihan yang dibebankan juga diikuti dengan bunga yang besar.

Selain itu, lanjutnya, konsumen diharuskan membayar biaya layanan 3%-5%. Adapun untuk jangka waktu pelunasan juga pendek, maksimal 12 bulan.

“Dengan limit kredit yang rendah, potensi data pribadi yang bocor juga tinggi. Hal ini dapat disalahgunakan baik oleh perusahaan penyelenggara maupun pihak ketiga,” ungkap Rizal.

Di sisi lain, penagihan utang dinilainya kerap disertai dengan ancaman dan intimidasi. Inilah yang dianggap Rizal bahwa sistem security belum memberikan hak atas kenyamanan nasabah.

Ia mencontohkan, terkait pengaduan penyalahgunaan data pribadi, misalnya. Pada kasus pishing, mekanisme yang terjadi awalnya adalah konsumen dihubungi oleh seller alias oknum penjual.

Setelah melakukan pembayaran, konsumen mendapat tautan untuk memproses pesanan, dengan syarat memasukkan e-mail dan password. Namun, ketika tautan tersebut diklik, situs tersebut mempunyai tampilan yang sangat mirip dengan platform asli sehingga tidak tampak palsu.

Setelah itu, oknum pun berhasil mengambil data pribadi hingga nomor rekening konsumen pun dapat diketahui.

Kolaborasi Stakeholder

Rizal pun menyarankan, OJK dapat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mentakedown seluruh fintech ilegal. Ia pun mengakui, mapping regulasi ekonomi digital dan keuangan melibatkan banyak stakeholder.

“Memang irisan ini membutuhkan kesabaran dan banyak koordinasi,” kata dia.

Diketahui, OJK sendiri telah mengatur layanan fintech dalam POJK No.77/POJK/01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (fintech lending).

Sementara untuk perlindungan data, teknologi, dan monitoring yang dilakukan oleh Kominfo diatur dalam UU ITE, PM Kominfo No.20/2016 PDP, dan PP PSTE. Selain itu, industri ini juga diatur salah satunya dalam Peraturan BI No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Fintech.

“Oleh karena itu, panduan dalam rangka menenggakan perlindungan konsumen, perlu diturunkan dalam regulasi yang lebih teknis,” tuturnya.