Nampak pelanggan tengah melakukan pengisian BBM jenis Pertamax di sebuah SPBU kawasan Rest Area Karang Tengah Tol Jakarta Tangerang. PT Pertamina hari ini 3 Januari 2023 pukul 14.00 menurunkan harga Pertamax,Pertamax Turbo dan Pertamina Dex. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Energi

Rekomendasi IMF BBM Kena Cukai Dinilai Tak Tepat

  • Pengamat dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) meminta Indonesia meningkatkan penerimaan negara dari pungutan Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan hal yang tidak tepat.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Pengamat dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) meminta Indonesia meningkatkan penerimaan negara dari pungutan Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan hal yang tidak tepat.

Menurut Fahmy, penerapan cukai ditujukan untuk mengurangi ketagihan dari suatu hal dalam konsumsi, sehingga BBM bukan salah satu hal yang harus dikenai cukai.

"Penerapan cukai untuk BBM tidak tepat karena cukai diterapkan untuk mengurangi addicted (ketagihan) dalam konsumsi, contohnya  cukai rokok dan alkohol," katanya kepada TrenAsia.com Senin, 12 Agustus 2024.

Fahmy menjelaskan jika pemerintah memaksakan penerapan cukai pada BBM, pasti akan menaikkan harga jual dan besaran subsidi BBM yang ujungnya melemahkan daya beli.

Bahkan ia menegaskan pemerintah telah kehilangan ide untuk mendapatkan pungutan pajak dari hal lain selain BBM. Pemerintah harusnya lebih bisa berpikir kritis dan menyelesaikan pembahasan kriteria pembatasan BBM subsidi, alih-alih memikirkan pungutan cukai untuk BBM ini.

Bahkan dengan tegas Fahmy menyebut beberapa rekomendasi IMF untuk Indonesia justru tidak membumi dan tak cocok dengan kondisi perekonomian di RI. Sehingga tak perlu menjadi pembahasan panjang lebih lanjut. 

Penerimaan Pajak Tahun ke Tahun

Melihat target penerimaan pajak, pemerintah terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjanji mengerek pendapatan ke angka 23% terhadap PDB. Sementara per 2023, tax-to-gdp ratio atau rasio pajak Indonesia berada di angka 10,2%, turun dari 2022 yang sebesar 10,39%.

Sedangkan pada 2024 sendiri, pemerintah mengejar target pendapatan negara dari perpajakan yang dipatok sebesar Rp1.988,9 triliun. Hingga Juli 2024, penerimaan perpajakan yang mencapai Rp1.028,0 triliun, meskipun mengalami kontraksi 7% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Penerimaan perpajakan terutama dipengaruhi oleh penurunan setoran tahunan dan angsuran PPh Badan, peningkatan restitusi, serta faktor volatilitas harga komoditas dan downtrading ke golongan rokok yang lebih murah. Penerimaan pajak mencapai Rp893,8 triliun dan kepabeanan serta cukai mencapai Rp134,2 triliun.

Realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) semester I 2024 mencapai Rp288,4 triliun, turun 4,5 persen dari Rp302,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu, terutama disebabkan oleh moderasi harga komoditas batu bara. Namun, kontribusi pendapatan dari dividen BUMN meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa penerimaan pajak sepanjang 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun. Realisasi itu berhasil tembus di atas target yakni 108,8% dari target awal APBN 2023 dan 102,8% dari Perpres 75 Tahun 2023.

Sedangkan pada 2022, penerimaan pajak menembus Rp1.716,8 triliun sepanjang 2022. Capaian tersebut menembus 115,6% dari target yang ditetapkan dalam Perpres No. 98/2022 sebesar Rp1.485,0 triliun.

Sepanjang 2022, realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas tercatat sebesar Rp920,4 triliun atau mencapai 122,9% dari target Perpres No. 98 tahun 2022, meningkat 43% jika dibandingkan dengan tahun 2021.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2021 mencapai Rp1.277,5 triliun. Jumlah itu naik 19,2%, dibandingkan capaian di tahun 2020.