Film Home Sweet Loan.
Hiburan

Relatable dengan Kehidupan, Film Home Sweet Loan Cerminkan Generasi Sandwich Indonesia Sulit Punya Rumah

  • Film Home Sweet Loan baru-baru ini menjadi topik hangat masyarakat dan sukses menyentuh hati para penonton, karena film ini mengangkat cerita tentang generasi sandwich yang dianggap relevan dengan kehidupan anak muda masa kini.

Hiburan

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Film Home Sweet Loan baru-baru ini menjadi topik hangat masyarakat dan sukses menyentuh hati para penonton, karena film ini mengangkat cerita tentang generasi sandwich yang dianggap relevan dengan kehidupan anak muda masa kini.

Film Home Sweet Home mengisahkan kehidupan generasi sandwich, yakni kelompok orang dewasa muda yang harus menanggung beban finansial keluarga dan berusaha hidup mandiri.

Dalam film ini, tokoh utama, Kaluna seorang pegawai kantoran sekaligus generasi sandwich dari keluarga kelas menengah, diperankan oleh Yunita Siregar. Kaluna adalah seorang wanita yang menghadapi tekanan dari keluarganya serta tantangan keuangan saat berusaha membeli rumah sendiri di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Kaluna dihadapkan pada dilema besar, di mana ia harus memilih antara mengorbankan keluarganya atau mengejar impiannya memiliki rumah. Berkat penyajian cerita yang menarik, film tersebut sukses meraih lebih dari satu juta penonton sejak penayangan perdananya pada 26 September.

Para penonton merasa relate dengan cerita dalam film ini, terutama bagi mereka yang menghadapi kesulitan memiliki rumah di kota-kota besar seperti Jakarta. Harga properti yang terus melambung dan tekanan sosial untuk memiliki rumah menjadi tantangan yang dihadapi oleh generasi milenial dan Gen Z.

Penulis novel Home Sweet Loan Almira Bastari menyatakan, isu generasi sandwich dan kepemilikan properti ternyata sangat relatable bagi banyak orang. Hal ini terbukti dari film yang sudah ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton.

Ia juga berpesan kepada generasi sandwich untuk menjadi lebih berdaya dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk membantu keluarga.

Masyarakat Generasi Sandwich Indonesia

Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981 seorang Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A. Miller. Generasi sandwich merujuk pada orang dewasa yang harus menanggung kehidupan tiga generasi, yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anak-anaknya.

Dilansir dari OJK, banyak faktor yang memengaruhi terjadinya generasi sandwich, tetapi secara umum, masalah ini muncul akibat kegagalan finansial orang tua. Orang tua yang tidak memiliki perencanaan keuangan baik untuk masa tua mereka berisiko besar menjadikan anak mereka generasi sandwich berikutnya.

Selanjutnya, anak tersebut akan mengikuti jejak orang tuanya dan menjadi orang tua yang tidak mandiri di masa tua, pada akhirnya siklus ini terus berlanjut.

Kondisi ini dianalogikan seperti sandwich, di mana sepotong daging terjepit di antara dua potong roti. Roti tersebut diibaratkan orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), sedangkan isi utama sandwich, seperti daging, mayones, dan saus, melambangkan diri sendiri yang terjepit di antara keduanya.

Hingga kini, generasi sandwich masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang dikenal memiliki nilai kekeluargaan yang sangat tinggi.

Budaya keluarga besar masih tumbuh subur di Indonesia, memungkinkan lansia atau saudara jauh untuk tinggal bersama dalam satu keluarga. Dalam situasi ini, generasi sandwich diharuskan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka juga.

Gen Z yang umumnya baru memulai karir dan belum memiliki kestabilan finansial, kini banyak yang terpaksa menjadi generasi sandwich. Mereka harus bekerja untuk membiayai pendidikan kakak atau adik serta perawatan orang tua yang sakit.

Akibatnya, mereka belum sempat merasakan hasil dari kerja kerasnya sendiri, karena uang yang diperoleh sudah habis untuk mendukung kebutuhan keluarga.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia pada tahun 2023, hampir 12% atau sekitar 29 juta penduduk Indonesia tergolong dalam kategori lansia.

Dalam sebuah studi yang dirilis Asian Development Bank (ADB) pada Mei 2024 berjudul Aging Well In Asia, angka ketergantungan hidup lansia di Indonesia mencapai 50%. Berdasarkan data tersebut, banyak lansia yang masih bergantung pada kiriman uang dari keluarga, terutama dari anak-anak mereka, untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Hal ini secara tidak langsung berdampak pada tingginya jumlah generasi muda yang menjadi generasi sandwich. Mereka harus menanggung kehidupan orang tua, ditambah dengan anak-anak mereka sendiri jika sudah berkeluarga.

Berdasarkan laporan terbaru hasil kolaborasi antara platform properti Pinhome dan perusahaan riset global YouGov, generasi sandwich di Indonesia diperkirakan mencapai 41 juta orang dan sedang menghadapi tantangan besar dalam membeli rumah.

Hal ini disebabkan oleh peran mereka yang harus menopang kehidupan anak-anak dan orang tua, dan tekanan finansial yang sangat besar. Sehingga, menyulitkan mereka untuk memiliki rumah akibat tanggung jawab yang besar tersebut.

Mayoritas generasi sandwich tersebut memiliki motivasi tinggi untuk memiliki rumah, yang dipicu oleh kebutuhan keluarga sebesar 49% dan stabilitas 48%. Laporan ini didasarkan pada hasil survei daring yang melibatkan 400 responden dari berbagai kelas sosial ekonomi.

Salah satu temuan penting yang diungkap dalam acara ini adalah preferensi generasi sandwich terhadap rumah tapak, di mana 53% responden memilih properti dengan ukuran kecil, yaitu kurang dari 54 meter persegi.

Selain itu, lokasi menjadi faktor utama dalam pemilihan properti, dengan kedekatan terhadap fasilitas kesehatan, tempat kerja, dan transportasi umum sebagai prioritas utama.

“Kami menyadari bahwa generasi sandwich menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan mimpi memiliki rumah, karena harus menopang keluarga sekaligus mengejar impian pribadi,” ujar, CEO dan Founder Pinhome Dayu Dara Permata pada Selasa, 8 Oktober 2024, dalam Konferensi Pers Peluncuran Laporan “Langkah Generasi Sandwich Menuju Kepemilikan Properti”

Laporan ini juga mengidentifikasi tiga hambatan utama yang sering dihadapi oleh generasi sandwich dalam upaya memiliki rumah, yaitu menemukan properti yang tepat, biaya tambahan yang tidak transparan, serta cicilan yang tinggi.