Hotel Sultan Jakarta.
Nasional

Rencana Ambil Alih Kawasan Hotel Sultan Dinilai Melanggar UU

  • Langkah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengambil alih kawasan Hotel Sultan Jakarta dinilai melanggar undang-undang (UU) dan terlalu prematur.

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA — Langkah Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengambil alih kawasan Hotel Sultan Jakarta dinilai melanggar undang-undang (UU) dan terlalu prematur. Hal itu disampaikan kuasa Hukum PT Indobuildco, Dr. Amir Syamsuddin dan Dr. Hamdan Zoelva dalam pernyataannya, Rabu 15 Maret 2023. 

Lahan yang dimaksud berada di atas HGB Nomor 26/Gelora seluas 57.120 m2 dan HGB Nomor 27/Gelora seluas 83.666 m2 milik perusahaan di Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat dengan masa berlaku yang berakhir pada 3 Maret 2023 dan 3 April 2023. Berikut pernyataan lengkap dari kuasa hukum PT Indobuildco:

Rencana pengambilalihan oleh Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) tanah dan bangunan di atas HGB No. 26/Gelora seluas 57.120 m2 dan HGB No. 27/Gelora seluas 83.666 m2 milik PT Indobuildco di Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, yang masa berlakunya berakhir pada tanggal 3 Maret 2023 dan 3 April 2023, adalah prematur. 

Kemensetneg menyatakan bahwa berdasarkan Keppres No. 4 Tahun 1984 tertanggal 15 Januari 1984 tentang Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan; Keputusan Kepala BPN No.169/HPL/BPN/1989 tertanggal 15 Agustus 1989; dan Putusan Peninjauan Kembali No. 276 PK/Pdt/2011; maka Pengelolaan seluruh tanah dan bangunan, hasil-hasil pembangunan dan pengembangannya akan diambil alih oleh negara sendiri; dan tidak menutup kemungkinan akan melibatkan pihak lain yang berkompeten. Kemensetneg telah membentuk tim transisi yang akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk pengambilalihan aset-aset PT Indobuildco tersebut.

Permasalahan yang terjadi dengan klaim Pemerintah di atas adalah PT Indobuildco masih memiliki hak untuk memperpanjang atau memperbarui HGB nya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan keberadaan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora itu cacat hukum atau batal demi hukum. 

Oleh karena itu, berakhirnya HGB No. 26/Gelora dan HBG No. 27/Gelora tidak serta merta masuk dalam HPL No. 1/Gelora. PT Indobuildco sebagai pemegang kedua HGB tersebut telah memenuhi segala kewajibannya; dan di atas tanahnya pun telah dibangun Hotel bertaraf internasional dengan segala fasilitas serta bangunan lainnya sehingga menurut Hukum Tanah Nasional, bangunan-bangunan dengan segala isinya sesuai asas pemisahan horisontal adalah milik PT Indobuildco.

Selain itu, terdapat berbagai pernyataan Kemensetneg tentang status HGB No. 26-27/Gelora dan tuntutan royalti yang menyesatkan publik serta merugikan nama baik juga kredibilitas PT Indobuildco. Untuk itu, kami selaku kuasa hukum PT Indobuildco perlu meluruskan beberapa hal yang penting untuk diketahui publik.

Kronologis keberadaan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora dimulai pada tahun 1970 dimana pada waktu itu tercetus niat untuk memanfaatkan hamparan tanah kosong di daerah Gelora Senayan yang merupakan tanah negara bebas yang tidak pernah diberikan hak atas tanah kepada siapapun. Pada tahun 1971, Pemerintah DKI cq. Ali Sadikin meminta kepada almarhum Ibnu Sutowo untuk membangun hotel untuk kepentingan konferensi PATA di atas tanah tersebut. 

Oleh karena itu, terbitlah SK Gub. DKI No. 1744/71 tanggal 21 Agustus 1971 yang intinya menyatakan tanah ex-Jakindra seluas 13 ha diberikan kepada PT Indobuildco dengan pembayaran kompensasi yang jumlahnya jauh lebih besar daripada harga tanah pada saat itu . Pada tanggal 21 Februari 1972, PT Indobuildco mengajukan permohonan HGB kepada Kantor Pertanahan Jakarta Pusat dan kemudian terbit Surat Keputusan Mendagri No. 181/HGB/Da/72 tanggal 3 Agustus 1972 yang memberikan HGB No. 20/Gelora kepada PT Indobuildco. Tahun 1973, HGB No. 20/Gelora atas nama PT Indobuildco tersebut dipecah menjadi HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora. Jadi inilah riwayat awal HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora yang terbit di atas Tanah Negara bebas.

Masalah tanah ini muncul ketika pada tanggal 15 Januari 1984, Pemerintah menerbitkan Keppres No. 4 Tahun 1984 tentang Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS), yang isinya tanah ex Asian Games IV/62 dan bangunan yang didirikan di atasnya baik di dalam maupun diluar kompleks Gelora Senayan menjadi milik Negara cq. Sekneg. Menindaklanjuti keputusan di atas, BPN menerbitkan SK BPN No. 169/HPL/89 tanggal 15 Agustus 1989 perihal Pemberian HPL kepada Sekneg atas tanah seluas 2,66 jt m2. Hal ini ditegaskan lagi dengan Surat Kepala BPN No. 109/HPL/BPN/1989 tanggal 15 Agustus 1989 tentang Pemberian Hak Pengelolaan kepada Sekneg, yang isinya menyatakan bahwa HGB akan masuk dalam HPL pada saat berakhirnya HGB/HP dimaksud.

Pada tahun 1999, PT Indobuildco melalui kuasanya mengajukan perpanjangan HGB 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora yang kemudian terbit Surat Mensekneg tanggal 14 Oktober 1999 No. 187 A/M.Sesneg/10/1999 yang ditujukan kepada Kepala Pertanahan Jakarta Pusat perihal Rekomendasi Persetujuan Perpanjangan HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora atas nama PT Indobuildco. Kemudian terbitlah SK Perpanjangan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora tanpa mengunakan rekomendasi Kemensetneg karena menurut BPN, HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora bukan berada di atas HPL No. 1/Gelora. Hal ini diperkuat lagi dengan Surat Kakanwil BPN DKI Jakarta No. 1.711.2/1592/09- 01/HT/2002 tanggal 29 Oktober 2002 kepada Direksi BPGS, yang pada intinya menegaskan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora tidak berada di atas HPL No. 1/Gelora.

Pada tahun 2005/2006, Kejaksaan melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara terkait dengan perpanjangan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora tanpa rekomendasi Sekretaris Negara. Kepala Kanwil Robert J. Lumempouw dan Dirut PT Indobuildco bersama kuasanya Ali Mazi dijadikan tersangka terkait kasus Perpanjangan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora tersebut. Pontjo Sutowo selalu Dirut PT Indobuildco dan kuasanya Ali Mazi akhirnya diputus pengadilan bebas sedangkan Robert J. Lumempouw sempat dihukum 3 (tiga) tahun tetapi di tingkat Peninjauan Kembali, Robert J. Lumempouw juga diputus bebas.

Pernyataan-Pernyataan Menyesatkan

Publik akhir-akhir ini menerima pernyataan-pernyataan yang menyesatkan terkait dengan status HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora. Pernyataan sesat itu antara lain sebagaimana dinyatakan Ketua Dewan Pengawas Pusat Pengelolaan Komplek Bung Karno (Ketua Dewas PPK GBK) pada konferensi pers Jumat, 3 Maret 2023 di Kemensetneg, bahwa selama 16 tahun PT Indobuildco tidak membayar royalti (kontribusi) atas pengelolaan Hotel Sultan kepada negara dalam hal ini Kemensetneg cq. PPK Gelanggang Olahraga Bung Karno. 

Pernyataan ini jelas tidak ada dasar yuridisnya karena HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora diterbitkan di atas tanah negara bebas dan BUKAN di atas HPL No. 1/Gelora an. Kemensetneg sehingga tidak ada kontrak ataupun perjanjian apapun antara Kemensetneg dengan PT Indobuildco. Pertanyaannya, dengan dasar apa PT Indobuildco harus atau wajib membayar royalti, bunga atau denda kepada Kemensetneg? Dikarenakan tidak pernah ada perjanjian ataupun kerjasama antara Kemensetneg dengan PT Indobuildco, maka tidak pernah ada tagihan/invoice royalti dari Kemensetneg kepada PT Indobuildco.

Pernyataan lain dari Ketua Dewas PPK GBK yang juga tidak tepat antara lain masalah kesaksian dari mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (Alm) yang mengira PT Indobuildco adalah anak perusahaan Pertamina, tetapi ternyata milik pribadi. Menurutnya Pak Ali merasa tertipu karena ia telah memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk menggunakan lahan milik negara. Hal ini tidak benar karena bila Pemerintah DKI merasa tertipu, maka dengan mudah Pemerintah mencabut pemberian tersebut. 

Fakta yang benar adalah Pemerintah DKI cq. Gubernur Ali Sadikin yang meminta almarhum Ibnu Sutowo untuk membangun hotel yang akan digunakan untuk konferensi PATA. Oleh karena itu, dengan kompensasi sebagaimana disebutkan di atas, terbitlah Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1744/71 tanggal 21 Agustus 1971 yang intinya menyatakan tanah ex-Jakindra seluas 13 ha diberikan kepada PT Indobuildco.

Selain pernyataan sesat, Kemensetneg juga telah menggunakan pendekatan yang berpotensi melawan hukum dalam menghadapi kasus ini. Sekretaris Menteri Sekretariat Negara (Mensetneg) Setya Utama mengatakan bahwa keputusan pengelolaan tersebut seiring dengan habisnya masa berlaku HGB No. 26/27 Gelora pada 3 Maret 2023 dan 3 April 2023 ini. Pimpinan telah memutuskan dengan berakhirnya HGB Nomor 26/Gelora dan Nomor 27/Gelora, aset-aset yang ada akan dikelola sendiri. Jadi, Kemensetneg cq. PPK GBK akan mengelola sendiri aset-aset yang ada, dan akan membuka kemungkinan kerja sama dengan pihak lain yang memiliki kompetensi untuk mengelola Hotel Sultan.

Pernyataan tersebut menunjukkan indikasi Kemensetneg melakukan perbuatan sewenang-wenang karena PT Indobuildco memiliki hak yang dilindungi oleh hukum untuk memperbarui HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora. Menurut undang-undang, masa berlaku HGB adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk masa 20 tahun dan dapat diperbarui lagi untuk jangka waktu 30 tahun. Dalam rangka perpanjangan atau pembaruan, sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Atas Tanah, Pemegang HGB wajib mengajukan perpanjangan minimal 2 (dua) tahun sebelum masa berlaku HGB berakhir. 

Apabila merujuk pada peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah; maka pembaruan hak atas HGB dapat dilakukan 2 (dua) tahun sejak haknya berakhir. Kewajiban untuk memperbarui HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora sudah dilakukan oleh PT Indobuildco 2 (dua) tahun sebelumnya sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Negara dalam hal ini tidak bisa melarang atau menghilangkan hak tersebut apalagi HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora berada di atas tanah negara bebas bukan di atas HPL No. 1/Gelora Senayan.

Perlu diketahui, PT Indobuildco telah mengajukan permohonan pembaruan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora pada tanggal 1 April 2021 dan telah direspon oleh Kakanwil ATR/BPN Provinsi DKI Jakarta dengan Suratnya tertanggal 28 November 2022 yang isinya memerintahkan Kepala Kantor ATR/BPN Kota Jakarta Pusat untuk melakukan penelitian terhadap data fisik dan yuridis dari permohonan tersebut. 

Artinya permohonan pembaruan hak atas HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora dari PT Indobuildco sudah dalam proses pembaruan. Hal ini berarti rencana pengambilalihan aset PT Indobuildco adalah premature dan tidak ada dasar hukumnya. Demikian juga, rencana Kemensekneg untuk mengajak pihak lain yang dianggap berkompeten untuk mengelola aset PT Indobuildco adalah rencana yang juga tidak berdasar karena PT Indobuildco menurut hukum mempunyai hak prioritas untuk mengelola aset-aset tersebut.

Dalam Hukum Tanah Nasional dikenal asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan serta kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah, antara lain bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum); perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.

Dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah haknya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga "penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri" seperti diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Bila dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah yang lain, sedangkan musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, maka dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara "pencabutan hak" yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. 

Dalam memperoleh atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, bangunannya, dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang dideritanya, sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.

Dengan demikian untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum sekaligus untuk membela hak-hak dan kepentingannya atas pembaruan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora tersebut, PT Indobuildco telah mengajukan gugatan tata usaha negara melawan Menteri ATR/BPN yang tercatat dalam register perkara nomor 71/G/2023/PTUN.JKT pada 28 Februari 2022 terkait dengan Surat Keputusan Kepala BPN No. 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 karena menurut kami, Surat Keputusan ini harus dinyatakan batal demi hukum khususnya terkait HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora. 

Gugatan tersebut saat ini sedang diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara dan biarlah proses hukum ini berjalan apa adanya tanpa adanya intervensi dari manapun, karena negara kita adalah negara hukum. Selain gugatan tata usaha negara, PT Indobuildco juga mencadangkan (reserve) hak keperdataannya untuk melakukan gugatan ganti rugi atas seluruh tanah dan bangunan serta hasil-hasil pembangunan termasuk pengembangannya kepada Pemerintah cq. Kemensetneg.

Kesimpulan dan Penutup

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 tentang pemberian Hak Pengelolaan atas nama Sekretariat Negara Cq. Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan, dalam konsideran memutuskan antara lain ditetapkan bahwa terhadap tanah-tanah HGB dan HP yang haknya belum berakhir, baru akan termasuk di dalam HPL pada saat berakhirnya HGB dan HP tersebut. 

Ketentuan yang tercantum dalam Surat Keputusan pemberian HPL ini tidak dikenal dalam Hukum Tanah Nasional. Berdasarkan hukum Tanah Nasional, HPL diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dimana di atasnya tidak terdapat hak-hak atas tanah. Apabila di atas tanah dimaksud telah terdapat hak atas tanah pihak lain yang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku, maka harus dilakukan pelepasan hak terlebih dahulu dari pemilik hak sebelum HPL diberikan.

Di samping itu, dalam Hukum Tanah Nasional dikenal asas pemisahan horizontal sebagaimana telah disebutkan di atas yaitu hak atas tanah dipisahkan dengan hak lain yang ada di atas tanah tersebut. Oleh karena itu, pemberian HPL atas tanah tidak bisa mengabaikan hak yang sebelumnya telah ada di atas tanah tersebut. Di atas HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora terdapat Hotel dan seluruh fasilitas dan usaha/bisnis milik PT Indobuildco, yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi pemberian HPL No. 1/Gelora di atas HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora tersebut bertentangan dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional.

Saat ini tentu saja tidak ada alasan BPN/ATR untuk menolak permohonan pembaruan HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora. Apalagi, kami mendapat informasi bahwa beberapa HGB lain di kawasan HPL No. 1/Gelora sudah diperpanjang antara lain seperti Hotel Mulia, Plaza Senayan dan Senayan City.