Terminal Batu Bara Pelabuhan Huanghua, di provinsi Hebei, China
Energi

Rencana Ekspansi Tambang Batu Bara Dinilai akan Hambat Transisi Energi di Indonesia

  • IEEFA mewanti-wanti bahwa ada potensi yang mengancam salah satunya aksi greenwashing dari lima perusahaan batu bara yang mengaku akan berinvestasi di bisnis non batu bara.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Beberapa berusahaan batu bara di Indonesia nampaknya akan melakukan ekspansi bisnis setelah kinerja keuangannya semakin moncer. Namun upaya  ini justru dinilai sebagai langkah menghambat transisi energi di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan dalam laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) bertajuk Indonesia's coal companies: Some diversify, others expand capacity. Di mana IEEFA mengkaji sebanyak tujuh produsen batu bara terbesar di Indonesia, yang berkontribusi pada 27% produksi batu bara nasional.

Adapun ketujuh perusahaan tersebut adalah PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Bayan Resources (BYAN), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), Geo Energy Resources, dan PT Harum Energy Tbk (HRUM).

"Tujuh produsen batu bara tersebut membukukan kas hingga US$10,3 miliar pada 2022 menyusul melonjaknya harga batu bara,"tulis laporan tersebut dilansir  Jumat 14 Juni 2024.

Analis keuangan energi IEEFA, Ghee Peh, mengatakan meski lima dari tujuh perusahaan batu bara terbesar di Indonesia tidak mengindikasikan penambahan kapasitas tambang, rencana ekspansi tambang Bayan Resources dan Geo Energy saja diperkirakan dapat menaikkan produksi batu bara hingga 58 juta ton.

Ghee menyebut, ekspansi kapasitas Bayan Resources dan Geo Energy 58 juta ton dapat mendukung kebutuhan rencana pembangunan PLTU captive 21 gigawatt (GW), yang berpotensi menambahkan emisi karbon dioksida 53 juta ton.

Ekspansi infrastruktur batu bara  disebut dapat menghambat peluang Indonesia untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon sesuai Nationally Determined Contributions (NDC) yang merupakan mandate Perjanjian Paris, sebesar 32% pada 2030.

Sedangkan, pembiayaan dari perbankan juga turut berkontribusi pada ekspansi tambang batu bara ini. Bayan Resources telah mengamankan pinjaman US$200 juta masing-masing dari Bank Permata dan Bank Mandiri, sementara Geo Energy telah memperoleh pinjaman US$220 juta dari Bank Mandiri.

Ada Potensi Greenwashing

IEEFA mewanti-wanti bahwa ada potensi yang mengancam salah satunya aksi greenwashing dari lima perusahaan batu bara yang mengaku akan berinvestasi di bisnis non batu bara. Sebagai contoh, Adaro Energy akan mengembangkan smelter aluminium dan Harum Energy akan membangun smelter nikel.

Namun, Adaro saat ini telah memiliki PLTU dengan total kapasitas 2,3 GW dan berencana membangun 2,2 GW lagi, di antaranya untuk mendukung smelter aluminium. Di sisi lain, Harum Energy belum merinci jenis pembangkit listrik yang akan memasok smelter nikelnya.

Ghee Peh meyakini bahwa PLTU captive akan menjadi pendorong utama permintaan batu bara Indonesia di masa mendatang.

Dalam laporan sebelumnya, Peh mengungkapkan, terdapat total rencana pembangunan PLTU captive dengan kapasitas 21 GW di seluruh Indonesia, yang setara setengah dari total kapasitas pembangkit nasional 2023 sebesar 40,7 GW.

Ghee Peh juga menghitung, PLTU captive yang saat ini sudah beroperasi mencapai 13 GW atau setara 32 % dari total kapasitas 2023. Tambahan kapasitas 21 GW diperkirakan menaikkan porsi PLTU captive hingga 52%  dari total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada 2023.