Rencana Erick Buka Peluang Indonesia Jadi Pemain Besar Industri Baterai
Rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengembangkan industri baterai nasional semakin nyata. Erick menyebut akan meresmikan Indonesia Battery Holding (IBH) pada Jumat, 26 Maret 2021.
Industri
JAKARTA – Rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengembangkan industri baterai nasional semakin nyata. Erick menyebut akan meresmikan Indonesia Battery Holding (IBH) pada Jumat, 26 Maret 2021.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kehadiran holding ini bisa mengangkat potensi baterai di Indonesia. Di saat yang bersamaan, Indonesia bisa lepas dari ketergantungan terhadap China untuk pengelolaan nikel nasional.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Ini menjadi langkah strategis kementerian BUMN di bidang ekonomi sekaligus energi terbarukan. Dengan holding ini Indonesia bisa mandiri mengelola nikel, tidak perlu lagi dikelola China,” kata Mamit saat dihubungi TrenAsia.com, Jumat 26 Maret 2021.
Holding bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) memiliki empat perusahaan anggota yang terdiri dari hulu sampai hilir industri. Empat perusahaan BUMN tersebut meliputi PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero), dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Membumikan Energi Terbarukan
Mamit menyebut permasalahan utama dari minimnya penggunaan energi terbarukan di masyarakat ialah harga energy strorage system (ESS) yang terlalu tinggi. Hal ini yang kemudian membuat instrumen energi terbaukan seperti panel surya tidak terserap secara optimal oleh pengguna rumah tangga atau untuk fasilitas umum.
IBC kemudian punya posisi strategis dalam meredam harga ESS di Indonesia. “Panel surya ini harganya sudah murah, cuman baterai penyimpanannya yang belum kompetitif sehingga belum maksimal penggunaannya.” terang Mamit.
Menurut data Institute for Essential Service Reform (IESR), potensi panel surya baru dimanfaatkan oleh 2% masyarakat pulau Jawa dan Bali. Sementara potensi teknis pengadaan energi surya di Indonesia mencapai 3 gigawatt (GW).
Mamit pun optimis, holding IBC dapat memberi efek berantai pada penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Dia menyebut target Erick Thohir soal masuknya Indonesia ke dalam negara dengan produksi baterai terbesar di tahun 2025 sangat mungkin tercapai.
“Butuh effort yang cukup dalam empat tahun ke depan. Tapi saya yakin target tersebut bisa tercapai, apalagi kan melibatkan PLN sebagai pengelola listrik tunggal di Indonesia,” jelas Mamit.
Nilai investasi holding ini diperkirakan Tim Percepatan Baterai Kendaraan Listrik mencapai Rp182 hingga hingga Rp238 triliun. Nilai tersebut, kata Mamit, masih bisa melonjak jika pemerintah bisa merayu investor asing untuk menanamkan modalnya dalam proyek ini.
Adapun investor yang tercatat telah berpartisipasi dalam proyek baterai listrik di Indonesia adalah LG Energy Solution Ltd-Korea. Perusahaan asal Korea Selatan tersebut bergabung dengan IBC dalam proyek industri baterai listrik yang berlokasi di Batang, Jawa Tengah.
Nilai investasi dari proyek di Batang diproyeksikan bakal mencapai US$9,8 miliar dengan kapasitas produksi mencapai 10 GWh.
Untuk diketahui, Indonesia memiliki cadangan sumber daya nikel sebesar 30% dari total nikel dunia. Nilai sumber daya nikel di Indonesia mencapai 21 miliar ton.
Perlu Insentif di Hilir Industri
Akselerasi produksi baterai ini, kata Mamit, mesti dilengkapi dengan insentif di hilir industri. Hal tersebut untuk mendorong serapan domestik. salah satunya untuk pengadaan mobil listrik di Indonesia.
“Kebijakan memberikan insentif-insentif harga mobil listrik bisa terjangkau agar baterai yang sudah dibangun bisa terserap ke dalam negeri,” terang Mamit
Hal senada juga diungkapkan pengamat otomotif Yannes Martinus. Menurut Yannes, pemerintah harus memberikan keistimewaan bagi pengguna mobil listrik di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan untuk menggugah penjualan mobil listrik di tahap awal pengembangan industri ini.
“Insentif untuk konsumen juga harus jelas, konsisten dan tegas. Disamping berbagai kemudahan operasional kendaraan sehari-harinya. Mulai dari sistem charging, hingga kemudahan berlalu lalang di jalan raya, misalnya bebas ganjil-genap,” kata Yannes kepada TrenAsia.com, Selasa 16 Maret 2021..
Beradasrkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan mobil listrik dan hybrid mencapai 1234 unit pada 2020 lalu. Menurut Yannes, penjualan ini bisa digenjot asal pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang kontra-produktif bagi pengadaan mobil listrik.
“Insentif yang menjadi kunci memasyarakatkan kendaraan listrik di Indonesia adalah kepastian tax holiday yang impresif, pengurangan pajak penjualan.” papar Yannes.