Ilustrasi tembakau alternatif.
Nasional

Rencana Penyeragaman Kemasan Rokok Tanpa Merek, Pakar Hukum: Ini Sangat Membingungkan

  • Kebijakan ini menghilangkan identitas merek produk dan menempatkan industri tembakau Indonesia pada posisi yang tidak menguntungkan, terutama dalam persaingan global.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Usulan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa merek kembali menuai kritik tajam. Wacana ini dipandang sebagai ancaman serius bagi ekonomi tembakau Indonesia dan berpotensi mengancam kedaulatan negara di bidang industri. 

Hikmahanto Juwana, pengamat hukum internasional, menilai bahwa kebijakan tersebut menyerupai langkah serupa yang diambil Australia pada tahun 2012, yang kala itu telah ditolak oleh Indonesia. 

Hikmahanto menegaskan bahwa penyeragaman kemasan rokok dapat berdampak signifikan pada industri tembakau lokal dan produk tembakau Indonesia di pasar internasional. 

"Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan," tegas Hikmahanto, dikutip Kamis 7 November 2024.

Menurutnya, kebijakan ini menghilangkan identitas merek produk dan menempatkan industri tembakau Indonesia pada posisi yang tidak menguntungkan, terutama dalam persaingan global.

Tak hanya itu, penyeragaman kemasan rokok tanpa merek juga diprediksi dapat memangkas pendapatan negara dari sektor tembakau. Mengingat industri tembakau menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar, kebijakan ini dapat mengurangi potensi penerimaan negara, baik dari pajak maupun ekspor. 

Hikmahanto menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi dengan tetap melindungi pelaku usaha lokal yang menyerap tenaga kerja besar di Indonesia.

Meningkatkan Peluang Produk Ilegal

Di sisi lain, kebijakan ini diperkirakan dapat membuka peluang besar bagi peredaran rokok ilegal. Hikmahanto memperingatkan bahwa produk rokok tanpa merek cenderung lebih mudah ditiru dan sulit diawasi oleh pihak berwenang.  Hal ini justru dapat menimbulkan efek sebaliknya, yakni meningkatnya peredaran rokok ilegal di pasar. 

Kajian dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) turut memperkuat kekhawatiran ini. Andry Satrio Nugroho dari Indef memperkirakan potensi kehilangan ekonomi yang signifikan jika kebijakan ini diterapkan. 

Menurut Andry, nilai potensi kehilangan ekonomi bisa mencapai Rp308 triliun, sementara penerimaan negara yang hilang diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun. Angka ini dinilai mengancam target penerimaan negara pada tahun 2024, yang masih menggantungkan kontribusi dari sektor tembakau.

Selama ini, industri hasil tembakau dikenal sebagai sektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap PDB Indonesia. Sebelum pandemi, sektor ini bahkan menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, meski kontribusinya terus menurun setiap tahunnya. 

Koordinasi Kebijakan dan Penolakan Intervensi Asing

Hikmahanto menegaskan pentingnya sinergi antar kementerian dalam merumuskan kebijakan terkait industri tembakau agar lebih seimbang antara kesehatan publik dan keberlangsungan sektor tembakau. 

Menurutnya, kebijakan harus dirumuskan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan, untuk mempertimbangkan dampak ekonomi secara menyeluruh. 

Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa merek ini menimbulkan perdebatan panjang terkait dampaknya terhadap ekonomi dan kedaulatan negara. Bagi pelaku industri dan pakar ekonomi, kebijakan ini bukan hanya tentang regulasi kemasan, tetapi juga soal dampak ekonomi jangka panjang bagi negara. 

"Setiap pelaku usaha berhak untuk bersaing dengan cara menonjolkan identitas merek mereka. Jika identitas itu dihilangkan, bagaimana mereka dapat bersaing?," tambah Hikmahanto.

Pemerintah diharapkan mampu mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak guna merumuskan kebijakan yang seimbang antara kepentingan kesehatan dan ekonomi, serta menjaga keberlanjutan industri tembakau sebagai salah satu tulang punggung penerimaan negara.