Pabrik Rokok Kretek Tangan
Nasional

Rentan, Perlindungan Pekerja Perempuan di Masa Pandemi Jadi Sorotan

  • Selama pandemi sistem kerja para buruh menjadi tidak normal. Banyak buruh pelinting yang dirumahkan, bekerja secara shift, dan dikurangi jam kerjanya. Bahkan, sebagian dari mereka terpaksa di-PHK. Padahal, sebagian besar dari mereka adalah tulang punggung keluarga.

Nasional

Adinda Purnama Rachmani

JAKARTA - Laporan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa di seluruh dunia perempuan lebih banyak kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19 dibandingkan dengan laki-laki. Sekitar 5% perempuan pada 2020 kehilangan pekerjaan atau jam kerja dikurangi, sedangkan laki-laki hanya 3,9%.

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono menilai bahwa pandemi memang sangat berdampak pada tenaga kerja

“Semuanya terkena, ada yang dikurangi upahnya, ada yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja), dan ada yang kena skorsing,” ujarnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menekankan adanya kesenjangan antara bagaimana perempuan lebih terdampak krisis dibandingkan dengan laki-laki. World Economic Forum (WEF) bahkan memperkirakan bahwa kesenjangan gender ini makin lebar karena pandemi COVID-19 berdampak pada sektor-sektor yang sebagian besar mempekerjakan perempuan.

Selama pandemi COVID-19, banyak perusahaan di Indonesia khususnya sektor padat karya yang melakukan efisiensi tenaga kerja agar dapat terus bertahan. Salah satu industri padat karya yang terkena dampak pandemi adalah industri hasil tembakau (IHT) yang banyak mempekerjakan perempuan sebagai pelinting sigaret kretek tangan (SKT).

Adapun, para buruh pelinting di SKT ini mayoritas perempuan dengan pendidikan yang terbatas. “Kalau perusahaan berkurang penerimaannya akibat pandemi, perusahaan tidak dapat membayar pekerjanya,” ujar Aloysius.

Selama pandemi sistem kerja para buruh menjadi tidak normal.  Banyak buruh pelinting yang dirumahkan, bekerja secara shift, dan dikurangi jam kerjanya. Bahkan, sebagian dari mereka terpaksa di-PHK. Padahal, sebagian besar dari mereka adalah tulang punggung keluarga.

Selain pandemi, para pekerja SKT juga terancam kehilangan pekerjaan akibat kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau dari pemerintah. Aloysius menilai kebijakan kenaikan cukai SKT tidak perlu dilakukan.“Menurut saya tidak perlu dinaikkan cukainya, karena kita melindungi buruh-buruh kita,” ujarnya.

Dia mengatakan jika perlindungan kepada buruh berkurang akibat dari kebijakan perusahaan atau kebijakan cukai hasil tembakau (CHT), pemerintah harus lebih menyadari bahwa hal itu mempengaruhi industri dan tenaga kerja.

“Kalau dilihat dari kenaikan cukai rokok itu mengakibatkan kesejahteraan para buruh rokok menjadi berkurang, berarti kebijakan pemerintah itu tidak tepat,” katanya.

Belum lama ini, dalam kunjungannya ke pabrik SKT di Bojonegero, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Soekarwo menyatakan hal senada yakni agar pemerintah melindungi tenaga kerja dari kenaikan cukai SKT.

“Kalau cukai SKT dinaikkan, pengangguran akan luar biasa,” ungkapnya. Dia menjelaskan bahwa sekitar 70 persen pekerja SKT adalah perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. 

Itulah sebabnya, para pekerja perempuan di sektor SKT perlu dilindungi oleh pemerintah baik dari dampak pandemi maupun kebijakan-kebijakan yang memberatkan industri SKT.