Resmikan Pabrik Smelter Nikel, Jokowi: Ekspor Stainless Steel Bisa Lebih dari Rp296 Triliun
- Jokowi bertolak ke Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara untuk meresmikan pabrik smelter nikel milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara.
Nasional
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo pada hari ini meresmikan dua proyek infrastruktur besar yang bakal memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Setelah melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking Rumah Sakit (RS) Internasional Bali yang terletak di Kawasan Wisata Sanur, Kota Denpasar, Bali, Jokowi bertolak ke Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara untuk meresmikan pabrik smelter nikel milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).
GNI adalah perusahaan industri nikel yang berlokasi di Bungini, Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara. Induk perusahaan GNI berlokasi di Jiangsu, China. GNI adalah perusahaan industri nikel tahap ketiga setelah PT VDNI dan PT OSS yang berlokasi di Kecamatan Morosi, Kab Konawe , Sulawesi Tenggara.
- Banting Setir ke Industri Motor Listrik, NFCX Jual Seluruh Saham Oona TV
- Negara dengan Start Up Unicorn Terbanyak: AS Jawara, China Kedua
- Keren! PLN Rampungkan 50 Proyek Senilai Rp8,8 Triliun Selama 2021 dan Listriki 81 Juta Pelanggan
Kepala Negara sangat mengapresiasi PT GNI yang berinisiatif membangun pabrik smelter nikel guna memperluas skala hilirisasi industri mineral di Indonesia yang merupakan salah satu potensi sumber daya lama terbesar dunia.
Jokowi mengatakan, potensi nilai tambah (value added) dari hilirisasi produk nikel sangat besar karena bisa menghasilkan banyak produk turunan. Salah satunya adalah feronikel dan stainless steel (baja tak berkarat).
Stainless steel adalah material yang mengandung senyawa besi dan setidaknya 12% kromium untuk mencegah proses korosi. Kemampuan tahan karat diperoleh dari terbentuknya lapisan film oksida kromium yang menghalangi proses oksidasi besi.
"Saya sangat menghargai pembangunan smelter oleh PT Gunbuster Nickel Industry. Dan ini akan memberikan nilai tambah yang tidak sedikit. Dari bijih nikel yang diolah menjadi feronikel, nilai tambahnya meningkat 14 kali. Dan jika dari biji nikel diolah menjadi billet stainless steel, akan meningkat nilainya 19 kali lipat, sebuah nilai yang tidak sedikit," katanya dalam sambutan, Senin, 27 Desember 2021.
Dia menyebut, potensi ekspor stainless steel Indonesia bisa bertambah dengan dibangunnya pabrik smelter GNI di Morowali. Smelter ini diproyeksi menghasilkan feronikel dengan kadar 10%-12% dengan kapasitas produksi 1.000.800 ton per tahun yang membutuhkan suplai/konsumsi bijih nikel sebesar 21.600.000 WMT per tahun.
Total nilai investasi sekitar Rp42,9 triliun. GNI secara keseluruhan akan mengoperasikan 24-line smelter dengan mengadopsi teknologi Rotary Kiln Electric Furnace.
"Tahun ini diperkirakan ekspor stainless (steel) kita akan melompat menjadi kurang lebih perkiraan kita US$20,8 miliar (setara Rp296 triliun), yang biasanya kalau kita ekspor bahan mentah hanya US$1 miliar atau sampai US$2 miliar. Ini sebuah lompatan yang sangat besar sekali," terang mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Jokowi pun kembali menegaskan akan menghentikan ekspor produk mentah mineral Indonesia. Setelah nikel, tahun depan dia akan menghentikan ekspor bauksit dan selanjutnya produk minerba lain seperti tembaga.
"Saya perlu mengingatkan kepada kita semuanya, kepada investor, bahwa yang namanya ekspor raw material, sesudah nikel ini akan masuk lagi ke yang namanya bauksit. Jadi, yang ingin membangun industri, membangun untuk hilirisasi bauksit, silakan, karena kesempatannya hanya ada satu tahun. Setelah itu akan setop, enggak boleh lagi," tandasnya.
Genjot Investasi
Guna mendukung iklim investasi yang aman dan kondusif, Jokowi meminta gubernur dan para kepala daerah serta aparat keamanan serius melakukan pengawalan dan menjamin ketertiban dan keamanan investasi.
Menurut dia, investasi yang luas bisa mengerek penciptaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diperkirakan, tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai hingga 27.000 orang.
"Kita harapkan rakyat yang berada di sekitar industri ini merasakan manfaatnya, baik yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan dan juga peluang-peluang usaha baru bagi usaha kecil, usaha menengah, dan yang lain-lainnya, sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi di provinsi maupun di kabupaten di mana industri ini berada," ungkapnya.
- Serikat Pekerja Pertamina Ancam Mogok Kerja, Desak Dirut Dicopot
- Tutup Tahun 2021, Layanan BBM Satu Harga Pertamina Sentuh 321 Titik
- Tutup 2021 Dengan Optimistis, ARCI Yakin Jadi Kontributor Cadangan Bijih Emas Terbesar 2022
Terkait iklim investasi dan tenaga kerja, ekonomi Ekonom Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan bahwa memang selama ini investasi terjadi di luar Pulau Jawa.
Hal itu terlihat dari realisasi investasi pada kuartal III-2021 di luar Pulau Jawa yang mencapai Rp340,7 triliun, lebih besar dari investasi di Jawa sebesar Rp318,7 triliun.
Namun demikian, menurut dia, pasokan tenaga kerja dan bahan baku untuk investasi di luar Pulau Jawa umumnya masih berasal dari Jawa. Hal itu yang kemudian membuat pasar tenaga kerja daerah setempat kurang belum tergarap.
Teguh mendorong agar pemerintah terus melakukan desentralisasi investasi agar tidak terus terpusat di Pulau Jawa saja. Hal itu dilakukan untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi daerah setempat sehingga tidak lagi bergantung terus menerus ke Pulau Jawa.
"Ini gambaran untuk policy maker untuk bagaimana mengoptimalkan dampak (investasi) itu tadi. Karena memang kemungkinan ekosistem atau rantai pasok (di luar Pulau Jawa) belum terbangun," katanya dalam dalam paparan hasil kajian Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengenai realisasi investasi pada kuartal III-2021 melalui Youtube BKPM TV, Senin, 27 Desember 2021.
Dia bahkan menyoroti perhitungan pemerintah mengenai realisasi investasi. Menurut dia, ada realisasi dampak investasi yang belum pernah terpikirkan oleh pemerintah, yaitu mengenai dampak langsung dan tidak langsung investasi.
Dia mencontohkan, dalam sebuah investasi pabrik ban, misalnya. Di dalam investasi tersebut, pemerintah tentu hampir tidak memperhitungkan ketersediaan bahan baku ban yang berasal dari karet, kawat dan bahan baku lain untuk aktivitas produksi ban.
Belum lagi, ada mata rantai pasokan yang lain yang mendukung investasi tersebut, misalnya catering, ojek online, penginapan, dan lain-lain yang tentunya berdampak terhadap ekonomi.
"Semua orang yang berkaitan dengan industri, itu yang kita hitung juga, ada bahan baku, supporting system, atau supporting tenaga kerja, dan lainnya, itu dihitung semua. Kalau kita tahu gambaran yang lebih besar, kita tahu bagaimana planning ke depannya," paparnya.
Untuk itu, dia berharap agar pemerintah perlu memiliki cakrawala atau perspektif yang lebih komprehensif dalam melihat investasi. Pasalnya, investasi tidak hanya terkait dengan nilai atau modal sebuah perusahaan membangun proyek, tetapi juga terkait dengan rantai pasok, baik di tahap konstruksi, produksi maupun operasi.