turbulensi garuda by deva Ta
Korporasi

Restrukturisasi Utang Bikin Laporan Keuangan Garuda Indonesia Kena Cap Disclaimer

  • Audit independen memberikan cap disclaimer atau tidak dapat memberi opini atas laporan keuangan (lapkeu) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) 2020
Korporasi
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Auditor independen memberikan cap disclaimer atau tidak dapat memberi opini atas laporan keuangan (lapkeu) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) 2020. Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyatakan cap disclaimer dipengaruhi atas pertimbangan restrukturisasi kredit yang tengah dijalankan perseroan.

Untuk diketahui, cap disclaimer diberikan auditor apabila lingkup audit yang dilaksanakan terhadap laporan keuangan tidak cukup untuk memberikan suatu opini. Menanggapi hal ini, Irfan tetap menghargai independensi auditor terhadap laporan keuangan GIAA.

“Garuda tentu menghargai independensi auditor yang mencatatkan keterangan tersebut dalam laporan kinerja keuangan sepanjang 2020,” ucap Irfan kepada Trenasia.com, Jumat, 16 Juli 2021.

GIAA diketahui memang belum merilis laporan keuangan tahunan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Kondisi bisnis yang terhantam pandemi serta kondisi restrukturisasi dikatakan Irfan turut mempengaruhi adanya cap disclaimer dalam laporan keuangan GIAA.

“Kemunduran signifikan dialami industri penerbangan hingga ke level terendah sepanjang sejarah,” ucap Irfan.

Meski begitu, Manajemen GIAA telah membagikan sebagian kecil kinerja keuangannya dalam keterangan tertulis. Dalam keterangan yang diterima Trenasia.com, GIAA hanya mencantumkan kondisi pendapatan dan beban operasional.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu membukukan pendapatan US$1,4 miliar setara Rp20 triliun (asumsi kurs Rp14.500 per dolar Amerika Serikat) sepanjang 2020. Pendapatan GIAA terjun bebas dari tahun sebelumnya yang sebesar US$4,57 miliar.

Lebih rinci, pendapatan GIAA dari penerbangan berjadwal sepanjang 2020 mencapai US$1,2 miliar. Realisasi itu jauh menurun dibandingkan capaian 2019 yang sebesar US$3,77 miliar.

Lalu, pendapatan dari segmen penerbangan tidak berjadwal pada 2020 0 mencapai US$77 juta dan pendapatan lainnya sebesar US$214 juta.

Meski seluruh lini bisnis dilibas COVID-19, Irfan menjelaskan GIAA masih mampu melakukan penurunan beban operasional penerbangan sebesar 35,13%. Beban operasional penerbangan GIAA merosot dari U$2,5 miliar pada 2019 menjadi US$1,6 miliar pada 2020.

“Melalui berbagai upaya efisiensi, Garuda Indonesia berhasil melakukan penghematan beban biaya operasional hingga US$15 juta,” ujar Irfan.

Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah lebih dulu mendorong audit menyeluruh laporan keuangan GIAA. Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza mengatakan perlu melakukan audit forensik yang melibatkan lembaga penegakan hukum untuk menelisik lebih jauh masalah keuangan yang diderita sang national flight carrier tersebut.

Perangkat Penegak hukum itu terdiri dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan Agung. Keterlibatan berbagai lembaga itu diklaim Faisol bisa membuka adanya potensi penyelewengan hingga transparansi menyeluruh kinerja perusahaan.

“Terkait penyelamatan Garuda Indonesia, saya memandang lebih kepada strategi hukum. Dimulai dengan audit forensik laporan keuangan Garuda Indonesia dengan melibatkan lembaga penegak hukum yang berwenang,” ujar Faisol Riza secara terpisah.

Melalui strategi hukum itu, segala indikasi penyebab kebangkrutan Garuda nantinya lebih mudah untuk diintervensi.  Hal ini pun dinilainya sebagai fondasi dalam memperbaiki kinerja keuangan Garuda Indonesia.

“Maka untuk melakukan inventarisasi masalah pun nantinya menjadi lebih mudah dilakukan, sebaliknya jika ada korupsi di dalam Garuda kita akan mengetahuinya secara jelas dan terang benderang,” kata Faisol.