Ilustrasi kredit perbankan.
IKNB

Restrukturisasi COVID Berakhir, Klaim Asuransi Kredit Melonjak

  • Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat, pada kuartal I-2024, klaim asuransi umum mengalami peningkatan 16,9% year-on-year (yoy) dari Rp9,89  triliun menjadi Rp11,56 triliun.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Dengan berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit COVID-19, klaim asuransi kredit diperkirakan bisa semakin melonjak. Padahal nilainya sudah tinggi sebelum relasksasi tersebut diakhiri per-31 Maret 2024 yang lalu. 

Klaim dan Premi Asuransi Kredit di Kuartal I

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat, pada kuartal I-2024, klaim asuransi umum mengalami peningkatan 16,9% year-on-year (yoy) dari Rp9,89  triliun menjadi Rp11,56 triliun. 

Dari total tersebut, klaim asuransi kredit yang nilainya mencapai Rp3,9 triliun menjadi kontributor paling besar dengan porsi hingga 34,4%. 

Wakil Ketua Umum AAUI Trinita Situmeang mengatakan, asuransi kredit pun menjadi segmen dengan klaim yang paling besar pada tiga bulan pertama tahun ini, yakni bertambah Rp1,04 triliun atau membengkak 35,5% yoy. 

Di antara segmen lainnya, hanya asuransi kredit yang nilai klaimnya mencapai triliunan rupiah pada triwulan pertama tahun ini.

“Bisa dilihat bahwa asuransi kredit ini sendiri bahkan bisa mencapai nilai Rp1 triliun,” kata Trinita dalam konferensi pers paparan kinerja asuransi umum kuartal I-2024 di Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024.

Sementara klaimnya mengalami lonjakan hingga 35,5%, pertumbuhan preminya sendiri lebih kecil jika ditinjau berdasarkan persentase. 

Per-kuartal I-2024, premi asuransi kredit bertumbuh 19,3% yoy atau bertambah Rp801 miliar dari Rp4,1 triliun menjadi Rp4,9 triliun. 

Dampak Berakhirnya Restrukturisasi COVID-19

Trinita mengatakan, sejak COVID-19, risiko di segmen kredit memang mengalami peningkatan. Oleh karena itulah kebijakan restrukturisasi diberlakukan dalam rangka memitigasi risiko bagi industri keuangan baik bank maupun non-bank. 

“Dengan selesainya restrukturisasi ini, memang secara teoritis kita melihat default possibility atau exposure-nya itu akan semakin meningkat, dan tentunya ini akan berdampak kepada asuransi kreditnya, kita juga bisa lihat semua Non-performing Loan (NPL) bank sekarang kan naik, jadi itu akan mencerminkan juga di level dari exposure risiko untuk asuransi kredit ini,” kata Trinita. 

Trinita pun menyebutkan bahwa dengan kondisi saat ini, loss ratio untuk asuransi kredit diproyeksikan akan tetap tinggi sebelum terciptanya keseimbangan ekonomi yang baru. 

Kemudian, Trinita menyampaikan bahwa saat ini tampaknya perusahaan asuransi harus melirik kembali tata kelola dari underwriting asuransi kredit dengan menyoroti tenor kredit, terms and condition, dan juga nilai premi yang mungkin bisa dirancang untuk mendekati default rate

“Jadi langkah-langkah mitigasinya itu memang kita harapkan dan sepertinya harusnya sih sudah berjalan sejak dua tahun ke belakang, sejak COVID itu kan sudah terlihat sebenarnya,” tutur Trinita.

Risk Sharing Asuransi Kredit

Trinita mengatakan, setelah pandemi COVID-19, kini telah ada upaya untuk memitigasi risiko kredit yang trennya masih menunjukkan peningkatan, apalagi dengan berakhirnya restrukturisasi.

“Tercermin juga dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang berlaku untuk asuransi kredit, yaitu POJK 20 yang mengatur risk sharing, dan ini sudah berjalan sebenarnya,” papar Trinita.

Untuk diketahui, POJK 20/2023 mengatur tentang pembagian risiko atau risk sharing antara perbankan dan perusahaan asuransi, masing-masing sebesar 25% dan 75%. Ada juga pengaturan terkait biaya akuisisi yang sebelumnya sebesar 20%, kini harus ditekan sampai 10%.

Akan tetapi, walaupun sudah ada kebijakan risk sharing yang diatur dalam POJK tersebut, namun dampaknya sendiri belum bisa dirasakan untuk saat ini. 

Pasalnya, pencatatan klaim asuransi kredit yang telah dibukukan berasal dari premi jangka panjang yang dibukukan untuk satu tahun ke belakang.

Dengan demikian, dampak dari POJK mengenai risk sharing yang baru saja diberlakukan ini kemungkinan belum akan terasa dalam waktu dekat. 

“Sudah berjalan sih sebenarnya (risk sharing) tapi masih akan ada tahun-tahun di mana ini pengaruhnya baru akan dirasakan,” pungkas Trinita.