Restrukturisasi Kredit Bank Akibat COVID-19 Capai Rp517,2 Triliun
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan perbankan telah melakukan restrukturisasi untuk 5,33 juta debitur dengan total outstanding mencapai Rp517,2 triliun hingga 26 Mei 2020. Wimboh mengatakan dari jumlah tersebut outstanding restrukturisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp250,6 triliun berasal dari 4,55 juta debitur dan non-UMKM Rp266,5 triliun berasal dari […]
Industri
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan perbankan telah melakukan restrukturisasi untuk 5,33 juta debitur dengan total outstanding mencapai Rp517,2 triliun hingga 26 Mei 2020.
Wimboh mengatakan dari jumlah tersebut outstanding restrukturisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp250,6 triliun berasal dari 4,55 juta debitur dan non-UMKM Rp266,5 triliun berasal dari 780.000 debitur.
“Jadi kita dalam melakukan mapping debitur perbankan itu ada tiga klaster yakni UMKM, BUMN, dan swasta,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis, 4 Juni 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Lebih lanjut Wimboh menuturkan untuk total outstanding restrukturisasi di perusahaan pembiayaan per 2 Juni 2020 mencapai Rp80,55 triliun dengan 2,6 juta kontrak telah disetujui.
“Terdapat 485.000 kontrak yang masih dalam proses persetujuan,” ujarnya.
Ia mengatakan untuk klaster BUMN telah ditangani secara khusus oleh Kementerian BUMN dan Menteri Keuangan sehingga OJK berharap tidak ada BUMN yang gagal dalam memenuhi kewajiban mereka baik di perbankan maupun pasar modal.
“Seharusnya tidak ada lagi BUMN yang akan default. Tidak ada lagi BUMN yang tidak akan membayar kewajibannya di pasar modal,” tegasnya.
Wimboh optimistis likuiditas perbankan akan tetap stabil seiring dengan kebijakan Quantitative Easing oleh Bank Indonesia (BI) yang telah menyuntikkan likuiditas sebesar Rp583,8 triliun.
“Ini yang banyak menikmati bank-bank besar sebagai player atau supplier di pasar uang antarbank sehingga menurut kami dari amunisi secara market tidak ada masalah,” katanya.
Tak hanya itu ia menyatakan pemerintah juga telah menempatkan dana ke bank jangkar sebagai penyangga likuiditas perbankan jika diperlukan seiring dengan penandatanganan PP Nomor 23/2020 oleh Menteri Keuangan.
Pasar Modal Rebound
Sementara itu, Wimboh menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pihaknya telah mampu membuat situasi pasar modal mulai kondusif dan pulih setelah sempat tertekan akibat dampak pandemi COVID-19.
Wimboh mengatakan beberapa waktu lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh dari level di atas 6.000 ke level di bawah 4.500 yang merupakan bentuk sentimen negatif dari pandemi COVID-19.
“Ini sentimen negatif datang lebih awal jadi kita sudah mengeluarkan berbagai kebijakan kemarin untuk bagaimana agar penurunan itu tidak terlalu dalam,” kata dia.
Wimboh menyatakan IHSG telah bergerak stabil dan mulai mengarah ke pemulihan sampai perdagangan hari ini sehingga ia berharap hal tersebut dapat terus berlangsung.
“Kondisi di pasar saham sudah cukup positif bahkan hari ini detik ini kami lihat level indeksnya 4.996 tadi pagi sudah menembus 5.000. Mudah-mudahan ini akan recovery dan normal,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia menuturkan banyak investor asing yang mulai kembali berminat pada pasar modal Indonesia baik dari sisi saham maupun obligasi.
Wimboh menyebutkan berdasarkan data OJK pada Mei 2020 terdapat inflow investor asing di pasar saham tercatat net buy Rp8 triliun dan di pasar surat berharga negara (SBN) net buy Rp7,07 triliun.
“Beberapa minggu terakhir sudah lebih banyak mulai hijau yaitu hari ini indeksnya sudah 4.900 karena kita mengeluarkan berbagai kebijakan sehingga direspon positif agar sektor riil betul-betul minimal dampaknya,” jelasnya.
Ia menjelaskan capaian itu terwujud atas kebijakan OJK yang berusaha menahan agar tidak terjadi penurunan saham secara drastis seperti menetapkan batas auto rejection bawah dan memperbolehkan emiten melakukan buyback tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).
“Ini semua bukan berarti menghindar tapi hanya sekadar tensinya supaya tidak terlalu dalam. Alhamdulillah khusus yang faktor ini sentimen positif sudah mulai hadir,” ujarnya. (SKO)