Revisi PP 109/2012 Dinilai Tak Pertimbangkan Profil Risiko, APVI: Ancam Industri Rokok Elektrik
- Alasannya, revisi PP (RPP) Nomor 109 tahun 2012 akan menyamakan profil risiko produk HPTL khususnya rokok elekterik dengan rokok konvensional
Nasional
JAKARTA - Rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 terkait dengan pengaturan produk tembakau berupa rokok produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) kembali ramai diperbincangkan.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Aryo Andrianto menilai revisi PP ini dapat merugikan banyak pihak, salah satunya industri rokok elektrik. Alasannya, revisi PP (RPP) Nomor 109 tahun 2012 akan menyamakan profil risiko produk HPTL khususnya rokok elekterik dengan rokok konvensional.
“Satu hal yang menjadi perhatian kami adalah dengan tertekannya industri rokok elektrik legal, apabila disahkannya RPP Nomor 109 Tahun 2012 ini, maka akan mendorong usaha ilegal berkembang di Indonesia, maka hal ini akan merugikan semua pihak,” ujar Aryo dalam keterangan resmi, Kamis 28 Juli 2022.
- GTSI Balik Rugi jadi Laba Rp62,05 Miliar pada Semester I-2022
- Belanja di Pasar Loak, Wanita Ini Tak Sadar Beli Harta Karun Cincin Emas Kepala Suku Viking
- Melesat Rp12.000, Harga Emas Antam Jadi Segini Ibu-Ibu!
Pasal-pasal pada peraturan baru dinilai Aryo tidak relevan seperti menyantumkan gambar peringatan kesehatan menjadi 90%. Aryo berpendapat, aturan ini berpotensi melanggar hak pelaku usaha yang telah mendapatkan pengesahan terhadap logo dan merek dagang.
Kedua, pada kemasan produk tembakau harus menyantumkan ‘mengandung lebih dari 7000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 69 zat penyebab kanker’, pasal tersebut dinilai tidak relevan dengan kandungan produk rokok elektrik.
Selain daripada itu, kontribusi cukai industri rokok elektrik menyumbang hampir Rp200 miliar dalam waktu empat bulan pertama pengenaannya, yaitu september sampai dengan desember 2018. Pada 2022, industri rokok elektrik menyumbang pendapatan negara hingga lebih dari Rp2 triliun.
Aryo menambahkan, nantinya industri rokok elektrik ilegal akan berkembang demi memenuhi permintaan konsumen rokok elektrik yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2,5 juta orang.
Maraknya perdagangan gelap rokok, juga membuat negara akan kehilangan pemasukan karena konsumen akan mendapatkan dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak diregulasi dan berbahaya.
Sekretaris Jendral Apvi, Garindra Kartasasmita mengatakan, regulasi harus dibuat sesuai dengan tingkat resikonya. Apvi Indonesia berharap agar pemerintah dapat membuat regulasi terpisah dari PP Nomor 109 Tahun 2012, sesuai dengan profil resiko yang dimiliki oleh produk rokok elektrik.
Sebab, kebutuhan akan akan produk-produk yang lebih rendah resiko terus meningkat. Tren ini dialami oleh hampir semua produk harm reduction dan terjadi di hampir seluruh dunia.
“Apabila dari pemerintah masih ada yang tidak yakin dengan penelitian-penelitian yang sudah banyak dilakukan oleh negara lain, kami dengan senang hati akan membantu pemerintah untuk bersama melakukan penelitian dan mengevaluasi tingkat resiko dari produk rokok elektrik,” ujar Garindra.