Gedung DPR/MPR di Jakarta.
Fintech

Revisi UU ITE Jangan Membebani Konsumen dan Mengganggu Inovasi

  • Istilah TTE tersertifikasi baru muncul dalam aturan turunan UU ITE.

Fintech

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA- Pemerintah mengusulkan untuk mewajibkan penggunaan tanda tangan elektronik (TTE) tersertifikasi dalam transaksi tertentu yang dilakukan secara elektronik. 

Klausul ini akan dimasukkan dalam revisi kedua Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang tengah dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kewajiban ini tentu saja akan menambah beban bagi masyarakat. Sebab, penggunaan TTE tersertifikasi membutuhkan biaya jasa yang harus dibayarkan kepada perusahaan maupun lembaga yang menjadi Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia (PSrE).

Saat ini, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, tidak ada klausul yang mewajibkan penggunaan TTE tersertifikasi. Bahkan, regulasi tersebut tak mengenal istilah TTE tersertifikasi.

Istilah TTE tersertifikasi baru muncul dalam aturan turunan UU ITE. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 yang telah dicabut maupun aturan penggantinya, PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, membagi TTE menjadi dua, yakni TTE tersertifikasi dan TTE tidak tersertifikasi.

Berdasarkan beleid tersebut, yang dimaksud TTE tersertifikasi adalah TTE yang menggunakan sertifikat elektronik yang dibuat oleh jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia (PSrE). Sementara TTE tidak tersertifikasi dibuat tanpa menggunakan jasa PSrE.

Saat ini, setidaknya ada sembilan PSrE di Indonesia. Mereka antara lain PT Solusi Net Internusa, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), PT Indonesia Digital Identity, PT Djelas Tandatangan Bersama, PT Tilaka Nusa Teknologi, PT Digital Tandatangan Asli, Balai Sertifikasi Elektronik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan PT Solusi Identitas Global Net.

Biaya layanan penggunaan TTE tersertifikasi bervariasi, tergantung paket yang ditawarkan oleh masing-masing PSrE. Yang jelas, Masyarakat sebagai konsumen mau tidak mau harus merogoh kocek lebih dalam jika kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi ini diberlakukan.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis mengatakan, pada prinsipnya, DPR sepakat bahwa TTE harus memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan bisa dipertanggung jawabkan. Sebab, tidak bisa konsumen asal-asalan menerapkan tanda tangan digital tanpa bisa mempertanggungjawabkannya.

"Tanda tangan digital harus aman, bisa disimpan, tidak bisa dikloning, dan harus tersertifikasi," ujar Abdul.

Meski demikian, Abdul mengatakan, kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi jangan sampai memberatkan masyarakat. Itu sebabnya, Abdul berharap, kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi tidak dipukul rata untuk seluruh informasi maupun transaksi elektronik.

Lebih jauh, Abdul mengatakan, UU mengenai ITE nantinya tidak akan mengatur secara teknis terkait transaksi tertentu yang wajib menggunakan TTE tersertifikasi. Ketentuan teknis nantinya akan diatur dalam aturan turunan UU tersebut.

"Harapan saya, pemerintah membedakan transaksi yang wajib menggunakan TTE tersertifikasi. Transaksi elektronik ratusan ribu tentu jangan disamakan dengan transaksi perbankan, misalnya, kredit senilai Rp 5 miliar," ujar Abdul.

Rizki Aulia Rahman Natakusumah, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, mengatakan, pada dasarnya Fraksi Partai Demokrat mendukung terciptanya regulasi transaksi elektronik yang aman dan nyaman. Namun, yang terpenting adalah terjangkau bagi seluruh masyarakat luas.

Itu sebabnya, Rizki mengatakan, seluruh kemungkinan terkait penggunaan tanda tangan elektronik sedang didiskusikan di dalam Panja Pembahasan RUU ITE. Ia berharap, hasil pembahasan nantinya bisa menyepakati pengaturan yang tepat.

"Kami menilai bahwa pengaturan pengamanan harus diregulasi secara tepat dan jangan sampai terlalu membebani konsumen sehingga potensi inovasi bisa terganggu," ujar Rizki.