Industri

Riset FEB UB: Ada Perusahaan Rokok Besar yang Curangi Cukai Hasil Tembakau

  • MALANG – Riset dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) menunjukkan kompleksitas sistem tarif cukai hasil tembakau (CHT) memberikan celah penghindaran pajak (tax avoidance) beberapa perusahaan besar multinasional. Artinya, sistem cukai saat ini memungkinkan perusahaan rokok besar bersiasat dengan menahan produksi untuk bisa membayar di golongan yang […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

MALANG – Riset dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) menunjukkan kompleksitas sistem tarif cukai hasil tembakau (CHT) memberikan celah penghindaran pajak (tax avoidance) beberapa perusahaan besar multinasional.

Artinya, sistem cukai saat ini memungkinkan perusahaan rokok besar bersiasat dengan menahan produksi untuk bisa membayar di golongan yang lebih rendah.

Selain itu, perusahaan juga mengalihkan jumlah produksinya dengan membuat perusahaan-perusahaan baru agar jika dihitung, produksi dari masing-masing perusahaan tidak menyentuh golongan I atau yang dikenai tarif cukai tertinggi.

“Dengan banyaknya golongan, masih ada perusahaan besar dan asing yang membayar cukai lebih rendah. Dimanfaatkan pemain-pemain besar  untuk menahan produksi supaya dia tidak membayar cukai di golongan I,” kata Abdul Ghofar, Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB dalam diskusi secara virtual, Senin, 7 September 2020.

Kompleksitas tarif cukai termaksud adalah banyaknya layer atau penggolongan tarif CHT. Saat ini, Indonesia masih menerapkan sistem CHT dengan 10 layer.

Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 yang berisi peta jalan roadmap simplifikasifikasi ke 5 layer pada 2021.

Perusahaan Besar

Adapun, penggolongan tarif cukai berdasarkan pada batasan produksi yakni 3 miliar batang per tahun. Apabila pabrik rokok memproduki kurang dari 3 miliar batang per tahun, maka akan dimasukkan dalam golongan 2 atau 2 ke bawah, artinya akan membayar cukai yang lebih rendah.

Sementara golongan I diisi pemain kelas kakap yang mampu memproduki rokok di atas 3 miliar batang per tahun. Masalahnya, banyak pabrik rokok besar dan termasuk multi national company (MNC) yang masih bermain di golongan II.

Penelitian Ghofar dan tim menyebut, apabila pemerintah merealisasikan simplifikasi sesuai dengan PMK 146/2017, aka nada beberapa perusahaan yang naik golongan.

Sebut saja, Japan Tobacco International (JTI) yang saat ini berada di golongan II dan II B untuk jenis sigaret kretek mesin (SKM). Lalu di jenis sigaret putih mesin (SPM) ada British American Tobacco (BAT) dan Korean Tobacco & Ginseng di golongan II.

“Di sigaret kretek tangan (SKT), malah lebih parah, ada BAT yang masih membayar di golongan III,” tambah Ghofar.

Ghofar menegaskan, perusahaan rokok yang mampu memproduksi 3 miliar batang rokok adalah perusahaan besar. Bayangkan, dengan asumsi sederhana saja yaitu per batang hanya dijual Rp1.000, maka perusahaan telah mendapatkan omzet Rp3 triliun.

“Mana ada perusahaan menengah omzetnya Rp3 triliun? Itu perusahaan besar, harus bayar cukai di golongan tertinggi,” tegas Ghofar.

Modus Penghindaran Pajak

Bagaimana perusahaan besar tersebut membayar cukai di golongan rendah? Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kebijakan penggolongan tarif cukai hanya berdasarkan volume produksi. Artinya, tidak ada akumulasi dari perusahaan yang saling terafiliasi atau biasa disebut sister company.

Padahal, pemerintah sebelumnya telah menyadari adanya praktek penghindaran pajak seperti ini. Pada PMK 131/2013 sudah dijelaskan soal hubungan keterkaitan, artinya volume produksi dari sister company akan disatukan.

Ada tiga kriteria di mana perusahaan dianggap berafiliasi dengan perusahaan lain. Pertama, apabila ada penyertaan modal 20% atau 10% di masing-masing perusahaan. Kedua, aspek menajemen kunci, ada direksi atau komisaris yang menjadi pengurus di perusahaan lain.

Ketiga, dari  aspek bahan baku, yakni jika perusahaan memakai bahan baku irisan tembakau lebih dari 10% maka diangap punya hubungan istimewa. Masalahnya, kriteria ‘hubungan  darah’ ini telah dihapus.  

Akibatnya, negara menderita kehilangan potensi penerimaan dari optimalisasi CHT. Maka, Ghofar merekomendasikan kembali dijalankannya peta jalan simplifikasi tarif cukai.

Ternyata, jika tarif cukai disimplifikasi dari 10 layer ke 5 layer potensi penerimaan negara pada 2020 naik Rp0,06 triliun, 2021 Rp2,9 triliun, 2022 Rp2,73 triliun, 2023 Rp4,4 triliun.

Sehingga potensi penerimaan negara  selama empat tahun melakukan simplifikasi dapat mencapai Rp10 triliun lebih.

“Ini tidak bisa didapatkan negara kalau simplifikasi tidak dilakukan,” tegasnya. (SKO)