<p>Awak Media beraktivitas dengan latar belakang pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jum&#8217;at, 17 Juli 2020. Indeks harga saham gabungan (IHSG) mencatat koreksi 0,21 persen di akhir sesi pertama perdagangan Jumat 17 Juli 2020. Kekhawatiran terkait gelombang kedua penyebaran virus corona (Covid-19) dan aksi ambil untuk atau profit taking dinilai menjadi penyebab koreksi indeks. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Risiko Investasi: Saham Ditendang, Duit Investor Melayang?

  • Hingga 21 Juli 2020, Bursa Efek Indonesia mengumumkan ada 87 perusahaan yang masuk daftar notasi khusus. Dari jumlah itu, beberapa di antaranya masuk daftar emiten yang berpotensi delisting dari pasar modal.

Industri
Issa Almawadi

Issa Almawadi

Author

JAKARTA – Berinvestasi di pasar modal, khususnya di instrumen saham memiliki risiko yang paling tinggi ketimbang instrumen investasi lainnya. Selain tingkat pergerakkan harga yang cukup tinggi, saham perusahaan juga bisa ditendang (delisting) dari Bursa Efek Indonesia.

Saham perusahaan yang delisting, jelas akan merugikan investor. Pasalnya, investor tidak bisa lagi memperjualbelikan saham tersebut. Alhasil, dana investor ‘nyangkut’ bahkan bisa dianggap melayang.

Sepanjang tahun ini, Bursa telah melakukan delisting terhadap empat perusahaan. Tiga di antaranya berstatus forced delisting yakni PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. (APOL), PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk. (BORN), dan PT Leo Investments Tbk. (ITTG). Sementara satu lainnya yakni PT Danayasa Arthatama Tbk. (SCBD) berstatus voluntary delisting.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, voluntary delisting merupakan delisting sukarela yang diinginkan emiten. Sementara forced delisting, adalah delisting yang dilakukan Bursa kepada emiten yang tidak memenuhi ketentuan sebagai perusahaan tercatat.

Nyoman pun memberikan beberapa catatan terkait kewajiban perusahaan yang sudah terdepak dari Bursa.

Terkait dengan voluntary delisting, Nyoman bilang, Bursa mewajibkan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham; semua kewajiban penyampaian laporan dan keterbukaan informasi wajib telah disampaikan sebelum efektif voluntary delisting dilakukan.

Sedangkan untuk forced delisting, yaitu delisting karena kondisi going concern perseroan, legal issues atau tidak memenuhi ketentuan Bursa sehingga efek perseroan disuspen.

BEI ancang-ancang tendang saham PT Hanson Internasional Tbk. (MYRX) milik Benny Tjokro dari pasar modal. / Hanson.co.id

Perlindungan Investor

Untuk emiten-emiten yang terkena forced delisting, Nyoman mengatakan, Bursa melakukan beberapa tindakan untuk memproteksi investor publik dengan.

Salah satunya, dengan menyampaikan reminder dalam bentuk pengumuman Bursa kepada publik terkait adanya potensi delisting atas emiten tertentu yang dilakukan secara periodik setiap 6 bulan sekali sejak dilakukan suspensi oleh Bursa.

“Dalam Pengumuman reminder delisting tersebut, Bursa juga menyampaikan informasi nama pengurus perseroan termasuk nomor kontak perusahaan dengan maksud apabila ada pertanyaan dari investor/stakeholders dapat menghubungi perseroan,” ujar Nyoman kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 22 Juli 2020.

Selain itu, Bursa melakukan dengar pendapat dan permintaan penjelasan untuk disampaikan kepada publik terkait dengan rencana bisnis dalam rangka memperbaiki hal-hal yang menjadi penyebab dilakukannya suspensi oleh Bursa.

Tidak hanya itu, dalam rangka proteksi kepada Investor, Bursa juga telah mencantumkan Notasi Khusus pada kode saham emiten yang memiliki kondisi tertentu yang terkait dengan permasalahan going concern dan performance yang tidak favorable.

“Diharapkan hal tersebut memberikan awareness awal kepada investor tentang kondisi emiten sebelum mengambil keputusan investasinya,” imbuh Nyoman.

Bursa juga tidak mengizinkan Direksi, Komisaris termasuk Pemegang Saham Pengendali yang mengakibatkan sebuah emiten yang terkena forced delisting untuk menduduki jabatan sebagai Direksi/Komisaris dan/atau sebagai pengendali di calon emiten yang akan masuk sebagai perusahaan tercatat baru di Bursa.

Hingga 21 Juli 2020, Bursa mengumumkan ada 87 perusahaan yang masuk daftar notasi khusus. Dari jumlah itu, beberapa di antaranya masuk daftar emiten yang berpotensi delisting.

Adapun dua di antaranya yakni PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (AISA), dan PT  Cakra Mineral Tbk. (CKRA) paling berpotensi delisting karena telah melewati batas suspensi saham 24 bulan. (SKO)