Ilustrasi rupiah digital.
Fintech

Risiko Pengintegrasian Rupiah Digital dengan Infrastruktur Pasar Keuangan

  • Risiko keamanan siber, integrasi sistem yang tidak efektif, skalabilitas yang rendah, volatilitas tinggi, dan disrupsi operasional menjadi perhatian utama.
Fintech
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Laporan Hasil Konsultasi Rupiah Digital mengungkap risiko akan pengintegrasian Central Bank Digital Currency (CBDC) tersebut dengan Infrastruktur Pasar Keuangan (IPK). 

Risiko keamanan siber, integrasi sistem yang tidak efektif, skalabilitas yang rendah, volatilitas tinggi, dan disrupsi operasional menjadi perhatian utama. 

Risiko sistemik yang dapat muncul akibat kegagalan node juga perlu dipertimbangkan. Meskipun Rupiah Digital dapat mengurangi risiko konsentrasi dan memudahkan pemenuhan likuiditas di luar jam operasional BI-RTGS, keterlibatan industri juga dapat meningkatkan risiko likuiditas dan risiko kredit. 

Oleh karena itu, keberadaan fungsi lender of the last resort dianggap perlu untuk mengatasi potensi risiko tersebut.

Untuk memitigasi risiko, perlu diimplementasikan langkah-langkah seperti peningkatan keamanan dan perlindungan data melalui enkripsi, otentikasi, firewall, pemantauan, dan prosedur pemulihan. 

Laporan Hasil Konsultasi Publik juga mengemukakan bahwa keandalan infrastruktur juga harus dijaga dengan baik, dan ketersediaan sistem pemantauan risiko menjadi krusial terutama terkait pengelolaan risiko antar infrastruktur dan antar peserta.

Implementasi Rupiah Digital dihadapkan pada sejumlah tantangan. Setelmen real-time dan jam operasional 24/7 berpotensi memengaruhi profil dan struktur likuiditas peserta. 

Operasionalisasi di luar jam operasional BI-RTGS juga akan berdampak pada penyesuaian metode pengelolaan likuiditas dan kegiatan treasury peserta, khususnya settlement back office dan monitoring nostro.

Hasil konsultasi publik juga mengemukakan adanya risiko moral hazard yang mungkin muncul akibat transparansi dalam Distributed Ledger Technology (DLT). 

Pemikiran bahwa kepemilikan Rupiah Digital perlu dihitung sebagai komponen pemenuhan GWM mencerminkan kebutuhan akan kewaspadaan terhadap potensi risiko kolusi lintas validator nodes.

Perlindungan privasi data dalam desain Rupiah Digital dianggap penting untuk menghindari risiko kolusi yang dapat muncul dalam transaksi Operasi Moneter.

Pentingnya menjaga efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia menjadi sorotan, terutama dalam menghadapi risiko kolusi dan penyalahgunaan data yang mungkin muncul dalam penggunaan Rupiah Digital. 

Untuk diketahui, BI telah meluncurkan Laporan Konsultasi Publik sebagai langkah transparansi dalam pengembangan konsep Rupiah Digital, yang tertuang dalam Consultative Paper (CP) Rupiah Digital Tahap I. 

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, menyatakan apresiasi terhadap partisipasi masyarakat yang memberikan masukan selama periode penerimaan masukan dari 31 Januari 2023 hingga 15 Juli 2023.

Laporan ini menjadi bagian integral dari inisiatif "Proyek Garuda," yang mewadahi eksplorasi terhadap implementasi Rupiah Digital. 

“Penerbitan laporan merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas BI dalam pengembangan desain Rupiah Digital,” tulis Erwin melalui laman resmi BI, dikutip Kamis, 28 Desember 2023.

Sebanyak 42 komentar dan masukan diterima dari berbagai pihak, termasuk perbankan, institusi non-keuangan, asosiasi, Kementerian-Lembaga, akademisi, dan masyarakat umum.

Setelah menerima masukan dari publik, pengembangan Rupiah Digital akan melanjutkan ke beberapa tahap berikutnya, termasuk eksperimentasi teknologi (proof of concept), prototyping, piloting/sandboxing, dan tinjauan kebijakan sesuai dengan high-level design White Paper Rupiah Digital.

Erwin menjelaskan bahwa eksperimentasi pengembangan Rupiah Digital merupakan proses iteratif untuk menjelajahi alternatif desain yang lebih luas dan memastikan optimalitas nilai tambah bagi Indonesia.