Temaram di Kota Lama Semarang
Nasional

Rob dan Nestapa Semarang, Tekor Rp2,5 Triliun per Tahun

  • Penurunan tanah di Semarang mencapai 5-10 sentimeter per tahun, membuat kawasan pesisir semakin rentan terhadap banjir dan rob.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

SEMARANG - Banjir dan rob yang melanda wilayah pesisir utara Jawa Tengah telah menjadi ancaman serius, terutama di kota-kota besar seperti Semarang, Pekalongan, dan Demak. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya berupa kerugian materi, tetapi juga anjloknya kualitas hidup masyarakat pesisir. 

Perubahan iklim dan penurunan permukaan tanah menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi pesisir Jawa Tengah. Semarang, kota di pantai utara yang juga menjadi ibukota provinsi, sering disergap ancaman air laut yang semakin mendekat. 

Penurunan tanah di Semarang mencapai 5-10 sentimeter per tahun, membuat kawasan pesisir semakin rentan terhadap banjir dan rob. Pada tahun 2023, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, Suwarto sempat menjelaskan problem kota Semarang. 

Menurut Suwarto, secara morfologis Semarang terbagi menjadi dua, yakni wilayah atas dan bawah. Wilayah bawah yang kini menjadi pusat ekonomi, dulunya adalah bagian dari lautan sekitar 800 tahun lalu. 

Penurunan tanah di Semarang menurut Suwarto semakin memperburuk kondisi, karena wilayah bawah memiliki tanah aluvial yang cenderung lunak dan mudah tergerus air.

Kerugian Ekonomi

Berdasarkan penelitian Tim Riset Tide Eye Indonesia, total kerugian ekonomi yang disebabkan oleh banjir dan rob di Semarang, Pekalongan, dan Demak mencapai sekitar Rp2,5 triliun per tahun. Kerugian ini meliputi terganggunya aktivitas industri, perdagangan, dan sektor-sektor produktif lainnya.

"Kami membuat hitungan sederhana dan berusaha mengumpulkan data dari berbagai macam sumber, estimasi kerugian per tahunnya itu Rp2,5 triliun," terang Ketua Tim Riset Tide Eye Indonesia, Miftadi Sudja’i, di Semarang, dikutip Kamis, 3 Oktober 2024.

Untuk mengatasi masalah ini, Tide Eye Indonesia bekerja sama dengan Telkom University dan University of Wollongong mengembangkan teknologi pemantauan banjir dan rob. Didukung oleh pemerintah Indonesia dan Australia, teknologi ini dilengkapi dengan kamera visual, radar, serta jaringan fiber optic untuk mengirimkan data. 

"Alatnya sudah terpasang. Jadi, ada dua jenis kamera vision apa visual dan radar yang untuk membaca dinamika banjir rob, kemudian ini infrastruktur jaringan melalui jaringan wireless fiber optik untuk jaringan internetnya," tambah Miftadi.

Hasil dari teknologi ini diolah oleh Badan Wilayah Sungai Pemali Juana dengan kecerdasan buatan (AI) untuk memantau potensi banjir di beberapa titik penting di Semarang, Pekalongan, dan Demak.

Empat lokasi strategis di sepanjang pesisir ini telah dipasangi alat pemantau rob dan banjir. Nantinya, data yang dihasilkan diharapkan mampu memprediksi banjir hingga tiga hari ke depan.  "Bukan hanya di Kota Semarang ya. Sebenarnya kami (meneliti) di tiga kota, yakni Semarang, Pekalongan, dan Demak," ungkap Miftadi.

Teknologi ini juga memiliki manfaat besar dalam manajemen lalu lintas di Pelabuhan Tanjung Mas, yang sering terganggu oleh banjir. Selain itu, teknologi ini memungkinkan perencanaan antisipasi bencana di kawasan industri, yang sering terdampak rob.

Cara Warga Bertahan Hidup Di Tengah Rob

Masyarakat pesisir Semarang berusaha mengatasi rob dengan cara swadaya, seperti meninggikan bangunan rumah. Namun, upaya ini belum cukup efektif dalam jangka panjang karena air laut terus naik, sementara penurunan tanah semakin parah. 

Upaya pemerintah dalam membangun polder atau kolam penampungan air untuk mengatasi rob juga hanya bersifat sementara. “Pemerintah sebenarnya juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi rob. Sayang, baru sebatas menanggulangi fenomenanya,” terang Pakar Lingkungan dari Universitas Diponegoro Semarang, Sudharto, dilansir RRI.

Menurut Sudharto, banjir rob berasal dari kombinasi air laut yang naik dan air hujan yang berasal dari hulu. Tata kelola ruang di wilayah hulu menjadi kunci pengendalian banjir di wilayah pesisir. 

Sayangnya, alih fungsi lahan di hulu untuk kebutuhan pembangunan telah memicu run off atau air larian yang memperburuk kondisi banjir di daerah bawah. “Kalau penggunaan air tanah dan pembangunan fisik bangunan tidak dikendalikan bisa terus turun tanahnya,” tambah Sudharto.

Dengan adanya kombinasi faktor alam, perubahan iklim, serta aktivitas manusia yang kurang terkontrol di wilayah hulu, penanganan banjir dan rob di pesisir utara Jawa Tengah menjadi tantangan yang kompleks. 

Meski teknologi pemantauan seperti Tide Eye dapat membantu, perbaikan tata kelola ruang di wilayah hulu, serta upaya mitigasi yang lebih holistik dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini secara berkelanjutan.

Pengembangan lebih lanjut dari teknologi ini diharapkan dapat membantu merancang kebijakan mitigasi di kawasan industri dan wilayah pesisir yang terancam.