<p>Warga melintas di depan gedung wisma Bumiputera di kawasan jalan Sudirman, Jakarta, Rabu, 24 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Korporasi

Robohnya Asuransi Jumbo (Serial 2): Kongkalikong Investasi Berujung Gagal Bayar

  • Setidaknya, dalam tujuh tahun terakhir, TrenAsia.com mencatat ada tiga perusahaan besar yang harus tumbang, antara lain PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) atau AJBB, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias ASABRI. Ketiganya sama-sama tumbang di era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Korporasi

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Penyebab kasus gagal bayar sejumlah perusahaan asuransi kakap menjadi pertanyaan terbesar di masyarakat. Buruknya manajemen internal perusahaan hingga adanya dugaan tindak korupsi disinyalir menjadi penyebab utama ambruknya perusahaan asuransi.

Pada PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) atau AJBB misalnya, perusahaan asuransi mutual ini setidaknya memiliki tiga sandungan yang menyebabkannya harus menerima kerugian. Di antaranya praktik incest, tata kelola yang buruk, dan seringnya perombakan direksi.

Sedangkan, pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terdapat 12 permasalahan utama yang menyebabkan perusahaan pelat merah ini tidak sanggup membayar JS Saving Plan milik nasabah dengan nilai belasan triliun rupiah.

Kinerja pengelolaan aset yang rendah, kualitas aset investasi dan non investasi yang kurang likuid serta produk yang terus merugi menjadi beberapa contoh Jiwasraya berada pada kondisi seperti sekarang.

Hal ini belum termasuk sistem pengendalian perusahaan yang masih lemah dan tata kelola perusahaan yang kurang baik. Dalam perjalanannya, persoalan itu pula yang memberikan ruang masuknya pihak ketiga seperti Benny Tjokrosaputro (Bentjok) dan Heru Hidayat dalam pusaran pengelolaan dana investasi Jiwasraya.

Pengelola dana pensiun dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias ASABRI juga terlilit skandal dana pengelolaan. Lagi-lagi kurangnya pengawasan, disertai sikap sembrono jajaran direksi menjadi bom waktu bagi perusahaan asuransi ini.

Pada kasus ASABRI, nama Bentjok dan kawan-kawan kembali terlibat. Mereka dan sejumlah direksi ASABRI pada periode 2012-2019 dicokok oleh pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) karena diduga menyalahgunakan uang negara.

Dugaan Adanya Kongkalikong di Perusahaan Asuransi
Komisaris Utama PT Hanson International Tbk. (MYRX) Benny Tjokrosaputro. / Hanson.co.id

Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menduga kasus-kasus di atas berawal dari kejatuhan nilai investasi pada sejumlah portofolio di pasar modal pada masa krisis.

Di sisi lain, kata dia, kemungkinan besar perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kebijakan internal untuk tidak melakukan langkah cut loss.

Dalam kondisi kerugiaan investasi yang belum direalisasikan (unrealized loss) ini, perusahaan-perusahaan seperti Jiwasyara dan ASABRI diduga mencari jalan keluar agar portofolio mereka dapat kembali pulih.

Pada posisi tertekan, nama-nama seperti Bentjok dkk hadir dan diyakini sebagai juru selamat. Sialnya, aksi yang dilakukan mereka tanpa mempertimbangkan aspek prudent tersebut malah membuat kerugian yang semakin dalam.

“Terkait para tersangka seperti Benny Tjokro dan lain-lain ini mungkin lho ya mereka menawarkan bantuan atau justru perusahaan asuransi yang sedang bermasalah ini meminta pertolongan kepada mereka,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com, Senin 22 Maret 2021.

Pasalnya, kata Edwin, tak sedikit saham-saham yang dipilih adalah saham emiten yang memiliki fundamental kurang bagus dan cenderung buruk.

Belum lagi banyaknya temuan yang menyebutkan penempatan dana investasi pada sejumlah instrumen bodong dan tidak memiliki prospek yang bagus.

“Bisa saja karena mungkin keinginan untuk menaikkan portofolio, lalu mungkin mereka masuk ke saham-saham emiten yang fundamentalnya yang kurang bagus,” imbuhnya.

Fungsi Kontrol dan Regulator
Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Edwin menyatakan bahwa terdapat tiga pihak internal yang memiliki peran besar dalam mencegah kejatuhan suatu perusahaan asuransi. Antara lain komite investasi, internal audit, dan internal control.

Menurutnya, yang paling mahfum akan risiko dan pengembalian (return) dari suatu portofolio investasi ialah internal perusahaan itu sendiri. Jika ketiganya berjalan sesuai dengan fungsinya, maka potensi kerugian yang mendalam dapat diperkecil karena adanya manajemen risiko yang baik.

Ia mempertanyakan keberadaan perananan ketiga pihak tersebut saat perusahaan-perusahaan asuransi itu mengalami miss management hingga mengakibatkan gagal bayar. Padahal, jika ketiganya berfungsi dengan baik, niscaya kasus-kasus seperti Bumiputera, Jiwasraya, dan ASABRI tidak akan terjadi.

“Jadi yang terpenting sebetulnya komite investasi, internal audit, dan internal control itu yang berperan besar. Kalau secara sederhana, enggak mungkin mereka enggak ngerti soal ini,” tutur Edwin.

Selain itu, sambung Edwin, eksternal auditor pada perusahaan asuransi juga dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kasus serupa.

Sebab, peran auditor eksternal juga cukup penting mengingat tiap tahunnya turut melaksanakan audit terkait kinerja keuangan perusahaan-perusahaan itu.

Di samping itu, Edwin menyatakan fungsi regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menjalankan tugas dengan semestinya. Bahkan, katanya OJK hanya mendapat kelimpahan persoalan dalam kasus-kasus perusahaan asuransi yang berujung gagal bayar ini.

“Istilahnya mereka yang pesta makan-makan, OJK yang disuruh cuci piring. Kalau menurut saya begitu, mereka tidak tahu apa-apa lalu ditimpakan seperti itu, enggak fair menurut saya,” papar dia.

Ia bilang, OJK hanya bertugas membuat payung hukum serta aturan-aturan yang harus dipenuhi di samping memiliki wewenang dalam hal pengawasan.

Sehingga, ia menitikberatkan persoalan penyalahgunaan dana investasi dan gagal bayar kepada internal perusahaan asuransi itu sendiri.

“Jadi saya percaya kalau perusahaan-perusahaan investasi ini sudah memenuhi regulasi yang telah ditetapkan oleh OJK, tidak mungkin terjadi hal seperti ini,” tukas Edwin.

Penempatan Dana Investasi yang Ideal
Ilustrasi investasi emas di Tanamduit. / Facebook @tanamduit.id

Lebih lanjut, Edwin menuturkan bahwa perusahaan asuransi harus memiliki kebijakan yang baik dalam mengatur portofolio dan investasi mereka. Ia pun menyampaikan bagaimana porsi penempatan dana investasi yang ideal bagi perusahaan asuransi.

Ia menilai, perusahaan asuransi yang baik akan menempatkan porsi besar pada instrumen pasar uang (money market) dan pendapatan tetap alias fixed income.  Sedangkan, sebagian kecilnya bisa ditempatkan pada pasar saham.

“Kalau menurut saja itu lebih baik ketimbang ekuitas atau saham. Idealnya perusahaan asuransi begitu, porsi terbesar harus ditempatkan pada dua instrumen, money market dan pendapatan tetap,” papar Edwin.

Alasannya, dua instrumen tersebut memiliki risiko yang rendah selain tingkat likuiditas yang cukup tinggi. Seperti diketahui, sebuah perusahaan asuransi membutuhkan dana untuk membayarkan klaim para nasabahnya setiap tahun.

Berdasarkan data yang dihimpun TrenAsia.com, portofolio investasi AJB Bumiputera pada periode 2015 sebagian besar ditempatkan pada reksa dana dan saham. Sebagian lainnya ditempatkan pada instrumen seperti deposito, obligasi korporasi, dan sukuk.

Pada kuartal pertama 2015, nilai investasi Bumiputera mencapai Rp12,5 triliun dengan rincian porsi penempatan dana investasi pada properti sebanyak 25,2%.

Kemudian, pada surat utang sebesar 23% dan reksa dana sejumlah 22,7% dan sisanya tersebar pada instrumen deposito, saham dan penyertaan langsung.

Jika diakumulasikan hingga periode Maret 2015, dana investasi Bumiputera pada pasar saham mencapai Rp93,95 triliun atau sekitar 32,5%. Sedangkan, porsi reksa dana lebih kecil yakni sebesar Rp68,21 triliun atau 23,6% dari total penempatan dana investasi.

Pada surat berharga negara (SBN), Bumiputera memiliki porsi penempatan dana sekitar 16,76%. Lalu, porsi pada instrumen deposito, surat utang dan sukuk korporasi masing-masing sebesar 15,22% dan 7,5%.

Bumiputera tercatat pernah menderita kerugian hingga ratusan miliar rupiah akibat investasi pada saham emiten migas PT Sugih Energy Tbk (SUGI). Hingga saat ini, saat SUGI masih dibekukan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

Yang juga sempat menjadi sorotan saat Bumiputera sempat menjual aset tanah seluas 15 hektare di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada era 1990-an. Kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Mega Kuningan itu ditukar dengan kepemilikian 50% lebih saham Grup Bakrie.

Hasilnya, saham itu anjlok menjelang terjadinya krisis 1998 di era Presiden Soeharto. Hal ini berujung pada pembelian kembali (buyback) kepemilikan saham Bumiputera oleh Grup Bakrie dengan harga yang jauh lebih murah.

Beralih pada Jiwasraya di mana penempatan dana investasi mayoritas berada pada pasar saham. Terutama pada saham-saham emiten yang terafiliasi dengan tersangka kasus Jiwasraya sendiri, Bentjok dan Heru Hidayat dengan nilai hingga Rp13 triliun.

Direksi Jiwasraya pada saat itu berdalih menjalankan investasi saham berbalut reksa dana guna mengelabui masyarakat. Belakangan terungkap portofolio investasi Jiwasraya ditempatkan pada saham “gocapan” dengan kinerja yang buruk.

Sedangkan, ASABRI sendiri diketahui menjalin kesepakatan untuk membeli serta menukar saham dalam portofolio ASABRI dengan saham PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), dan sukuk milik PT Prima Jaringan.

Seperti diketahui, aktor dibalik ketiga perusahaan tersebut yakni Bentjok, Heru Hidayat, dan Lukman Purnomosidi telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi ASABRI. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus investigasi yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Robohnya Asuransi Jumbo.

  1. Robohnya Asuransi Jumbo (Serial 1): 3 Perusahaan Tumbang di Era Jokowi dan OJK