<p>Warga melintas di depan gedung wisma Bumiputera di kawasan jalan Sudirman, Jakarta, Rabu, 24 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Robohnya Asuransi Jumbo (Serial 3): Biang Kerok Gagal Bayar, Negara Jadi Nombok

  • Kasus gagal bayar di industri asuransi masih saja terjadi. Bahkan, tak sedikit di antaranya yang menimpa perusahaan pelat merah dengan kerugian mencapai puluhan triliun.

Industri

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Kasus gagal bayar di industri asuransi masih saja terjadi. Bahkan, tak sedikit di antaranya yang menimpa perusahaan pelat merah dengan kerugian mencapai puluhan triliun.

Tiga kasus yang paling santer terdengar, misalnya, menimpa PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) atau AJBB, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias ASABRI.

Di AJB Bumiputera, kewajiban pembayaran klaim kepada nasabah yang mencapai Rp12 triliun gagal dipenuhi oleh perusahaan. Hal ini terjadi karena AJBB mengalami masalah likuiditas yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perusahaan. 

Kemudian di Asuransi Jiwasraya, negara harus merugi sebesar Rp16,8 triliun karena perusahaan tak mampu membayar klaim produk JS Saving Plan. Diketahui, produk ini dijual kali pertama pada Oktober 2018 melalui bank mitra (bancassurance) dengan nilai mencapai Rp802 miliar.

Alhasil, pemerintah mesti banting setir mencari solusi untuk merestrukurisasi kewajiban tersebut. Melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sebuah perusahaan bernama IFG Life akhirnya dibentuk buat menggantikan Jiwasraya.

Anggarannya berasal dari penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp20 triliun yang diberikan kepada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI.

Nah, gagal bayar di ASABRI menjadi kasus yang terbesar. Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total dugaan kerugian negara atas kasus ini nilainya mencapai Rp23,74 triliun.

Kondisi Bisnis Asuransi Jiwa
Petugas keamanan berjaga dengan latar belakang logo beberapa perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Rabu 10 Juni 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Di sisi lain, sejauh ini bisnis asuransi jiwa diklaim masih tumbuh sejalan dengan pemulihan ekonomi. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat, perolehan premi asuransi pada kuartal IV-2020 sebesar Rp53,6 triliun. Jumlah ini naik 19,37% dibandingkan dengan kuartal III-2020 sebesar Rp44,9 triliun.

Kendati demikian, secara tahunan premi asuransi jiwa masih terkontraksi 6,1% year-on-year (yoy) dari Rp199,87 triliun pada 2019, menjadi Rp187,59 triliun.

Adapun dalam hal porsi penempatan dana, AAJI mencatat pada kuartal III-2020, Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan jadi 18,6%. Tahun sebelumnya, porsi dana di instrument ini sebesar 15,3%.

Begitu pula dengan sukuk, naik dari 6,7% jadi 8,9%. Hanya saja, penurunan terjadi pada saham dan reksadana. Saham yang mulanya 37,7%, menjadi 24,8% pada periode tersebut. Reksadana juga berkurang dari 34% menjadi 33%.

Lantas, jika industri asuransi jiwa dikatakan masih sehat, mengapa peristiwa gagal bayar bisa terjadi?

Faktor Internal dan Eksternal

Terdapat sejumlah faktor mengapa kasus gagal bayar bisa terjadi. Dari sisi internal, Pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Universitas Airlangga Budi Kagramanto menilai, salah satunya disebabkan oleh pelanggaran aturan yang dilakukan oleh perusahaan.

Menurutnya, perusahaan asuransi seharusnya hanya menjamin jiwa pemegang polis, bukan memberikan garansi imbal hasil pasti alias fixed return melalui produk berbalut investasi.

Terlebih, bunga yang dijanjikan tidak masuk akal saking tingginya. “Ini bisa memberatkan perusahaan asuransi itu sendiri,” kata dia melansir Antara, Selasa, 23 Maret 2021.

Senada dengan Budi, Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan juga menilai, sering kali agen perusahaan asuransi hanya menjelaskan satu sisi saja, misalnya manfaat yang menggiurkan.

“Hanya menjelaskan yang manis-manisnya saja, tidak dijelaskan yang pahitnya. Misalnya, apa dampaknya jika nanti ada kemandekan dana. Nah, ini bisa membuat kepercayaan masyarakat terhadap asuransi menurun,” katanya saat dihubungi terpisah.

Padahal, lanjut dia, situasi pandemi ini sebetulnya memberikan peluang bagi industri asuransi jiwa untuk melakukan ekspansi. Laporan dari McKinsey pada 2020 pun menjelaskan, permintaan asuransi secara global berpeluang mencapai titik tertingginya.

Sebab, mayoritas masyarakat dianggap semakin sadar akan pentingnya perlindungan jiwa dan kesehatan. Untuk menangkap peluang itu, McKinsey menyebut tiga strategi perlu diadaptasi oleh industri asuransi jiwa.

Pertama, mempersonalisasi setiap aspek pengalaman nasabah dengan menawarkan produk sesuai kebutuhan. Ini juga mesti dibarengi dengan pengetahuan keuangan dan manajemen kesehatan yang terukur.

Kedua, industri asuransi jiwa perlu mengadopsi pengembangan solusi produk yang fleksibel terhadap berbagai perubahan regulasi dan suku bunga. 

Terakhir, keterampilan dan kemampuan semua unsur di industri asuransi jiwa mesti ditingkatkan. Perusahaan ini harus mampu merespons dan menangkap kompetisi pada masa depan. 

Bagaimana Pengawasan OJK?
Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Nah, selain faktor internal, kasus gagal bayar ini juga dipengaruhi oleh faktor internal. Abdul menilai, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator, masih kurang ketat dalam melakukan pengawasan.

Sebab, menurutnya laporan triwulan atau harian dari perusahaan asuransi, biasanya disampaikan ke OJK secara rutin. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah regulator selalu mengecek laporan tersebut hingga detail.

“Permasalahan itu biasanya muncul dari beberapa hal yang tidak terungkap di laporan keuangan,” sebutnya.

Faktanya, laporan keuangan memang sering kali tidak memunculkan data nasabah secara individual, melainkan secara kolektif atau berdasarkan sektor dan kelompok pendapatan.

Ke depan, Abdul pun menyarankan seharusnya OJK memiliki akses terhadap data individu konsumen asuransi. Namun yang mesti diperhatikan, data tersebut bersifat tertutup dan hanya digunakan khusus untuk kepentingan pengawasan.

Inovasi Bisnis Asuransi
Puluhan nasabah Jiwasraya yang tergabung dalam Forum Korban Jiwasraya melakukan aksi damai di Kantor Pusat Jiwasraya, Jakarta, Jumat, 11 Agustus 2020. Aksi dilakukan demi menuntut kejelasan atas pencairan dana bagi para nasabah korban Jiwasraya yang sudah tidak jelas selama 2 tahun belakangan ini. Seperti diketahui Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas sehingga  tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Di luar permasalahan gagal bayar, industri asuransi sendiri tetap harus memutar otak supaya bisnisnya tidak tenggelam dihantam pandemi.

“Industri asuransi juga tidak bisa face-to-face menawarkan produknya seperti saat sebelum pandemi. Harus dijalankan inovasi, misalnya lewat promosi daring,” kata Abdul.

Seperti yang dilakukan oleh PT Prudential Life Assurance, misalnya, perusahaan ini membeberkan salah satu cara penjualan produk asuransi yang selama ini dilakukan, khususnya pada era pandemi.

Seperti diketahui, OJK dalam Surat Edaran Nomor 18/D.05/2020 telah menyesuaikan teknis pemasaran Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI) atau unit link bagi perusahaan asuransi.

President Director Prudential Indonesia Jens Reisch mengungkapkan, kapabilitas digital yang terintegrasi secara end-to-end saat ini mampu mendukung sistem pemasaran.

“Kini, nasabah maupun calon nasabah dapat berkonsultasi dan mengajukan asuransi kapan pun dan mana pun,” katanya dalam laman resmi perusahaan.

Ia menuturkan, ada tiga langkah mudah, yakni consult, check, dan confirm (3C).

Untuk awalan, nasabah atau calon nasabah dapat mengonsultasikan seluruh rencana dan kebutuhan asuransi kepada tenaga pemasar.

Mereka akan menerima ilustrasi produk dan semua dokumen terkait pengajuan yang disampaikan.

Seluruh proses ini dapat dilakukan melalui berbagai kanal komunikasi digital, seperti email atau aplikasi pesan instan.

Kedua, check di mana nasabah mempelajari ilustrasi produk. Apabila setuju, mereka diminta untuk mengirimkan rekaman video kepada tenaga pemasar. Video tersebut berisi pernyataan bahwa mereka telah memahami manfaat dari produk asuransi yang ditawarkan dan setuju untuk membelinya.

Ketiga, nasabah akan menerima tautan konfirmasi ke microsite yang dikirimkan oleh perusahaan melalui SMS.

Namun, Abdul menambahkan bahwa promosi semacam ini juga memiliki kelemahan. Salah satu di antaranya sulit untuk membangun kepercayaan konsumen.

“Apabila penjelasannya kurang transparan, akan menurunkan kepercayaan konsumen. Sebab, biasanya penjelasan yang dilakukan secara langsung, dianggap lebih detail,” ujarnya.

Kemudian, bagaimana agen asuransi menjalankan strategi pendekatan ke konsumen juga sering kali diabaikan. Pasalnya, agen yang gencar melakukan penawaran, baik melalui surel maupun telepon, akan menimbulkan persepsi yang memaksa terhadap konsumen. Alhasil, ini akan berhubungan dengan masalah perlindungan konsumen. Termasuk penggunaan data konsumen tanpa seizin orang yang bersangkutan. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Robohnya Asuransi Jumbo.

  1. Robohnya Asuransi Jumbo (Serial 1): 3 Perusahaan Tumbang di Era Jokowi dan OJK
  2. Robohnya Asuransi Jumbo (Serial 2): Kongkalikong Investasi Berujung Gagal Bayar