<p>IQOS/ businesswire.com</p>
Industri

Rokok Elektrik Berpotensi Besar dalam Penerimaan Negara

  • Optimalisasi bisa dilakukan dengan cara merumuskan struktur dan beban cukai yang berimbang

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Paguyuban Asosiasi Vape Nasional menilai industri rokok elektrik sebagai salah satu pos potensial penerimaan negara dan instrumen pengendalian konsumsi tembakau.

Hal ini sejalan dengan nota keuangan dan Rancangan Undang-Undangan (RUU) anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2021.

“Tahun depan, target penerimaan negara melalui cukai ditargetkan sebesar Rp 178,5 triliun atau naik 8,2% dibandingkan dengan target yang tercantum pada Perpres No. 72 Tahun 2020 sebesar Rp 164,9 triliun,” kata Garindra Kartasasmita, Sekretaris Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) dalam diskusi secara virtual, Rabu, 26 Agustus 2020.

Sejak dikenakan cukai pada 2018, hasil produk tembakau lainnya (HPTL) telah berkontribusi sebesar Rp154 miliar dan pada 2019 berlipat menjadi Rp426,6 miliar. Kontribusi HPTL ini setara dengan hampir 1% dari total realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) senilai Rp164,9 triliun pada 2019.

Meskipun share terhadap penerimaan cukai masih kecil, Garindra mengatakan optimalisasi bisa dilakukan dengan cara merumuskan struktur dan beban cukai yang berimbang.

Artinya, regulator tetap memperhatikan kebutuhan penerimaan negara, keberlangsungan industri, serta pengendalian konsumsi terkait dampak kesehatan.

Cukai HPTL Saat Ini

Terlebih saat ini, rokok elektrik menjadi barang kena cukai yang mendapatkan tarif tertinggi yaitu 57% pada kenaikan cukai akhir tahun lalu. Padahal, industri rokok elektrik di Indonesia baru mulai tumbuh beberapa tahun terakhir.

Dengan pengenaan cukai yang tinggi, harusnya pemerintah lebih mempertimbangkan profil risiko dalam pengenaan tarif cukai.

Pasalnya, menurut riset lembaga kesehatan Inggris, rokok elektronik memiliki 95% lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional. Oleh karenanya, produk rendah risiko ini dapat dijadikan alternatif berhenti merokok.

“Kalau di kita kan dikenai cukai tertinggi karena belum dianggap sebagai produk alternatif. Kalau di negara lain justru diberikan insentif,” ungkap Roy Lefrans, Sekjen Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (Appnindo).

Berbanding terbalik dengan di Indonesia, perkembangan rokok elektronik di luar negeri justru diramaikan dengan berbagai riset ilmiah.

Perkembangan Global

Bulan lalu, The Food and Drug Administration (FDA) Amerika bahkan telah mengizinkan pemasaran IQOS, produk sistem tembakau yang dipanaskan secara elektrik dari Philip Morris International (PMI), sebagai produk tembakau dengan risiko yang dimodifikasi (Modified Risk Tobacco Product/MRTP).

Pemberian izin diberikan setelah FDA menemukan bahwa modifikasi paparan IQOS sejalan dengan upaya mendukung kesehatan masyarakat. IQOS dinilai sebagai produk tembakau yang secara fundamental berbeda dan merupakan alternatif merokok yang lebih baik.

Dengan begitu, IQOS menjadi produk nikotin elektronik pertama dan satu-satunya yang diberikan izin pemasaran melalui proses MRTP FDA. Alasannya, sistem IQOS hanya memanaskan tembakau tanpa membakarnya.

Berbagai studi ilmiah menyebut peralihan total rokok konvensional ke sistem IQOS mengurangi paparan tubuh dari bahan kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya. Selain itu, konsensus ilmiah internasional independen mengatakan IQOS adalah pilihan yang lebih baik daripada terus merokok.

Hal tersebut membuktikan pentingnya intervensi pemerintah dan organisasi kesehatan masyarakat meregulasi produk alternatif. Caranya, dengan membedakannya dari rokok konvensional untuk melindungi dan mendukung kesehatan masyarakat.

“Hal mendesak yang sangat diperlukan adalah diskusi sosial serta arah kebijakan yang secara mendasar. Sehingga para perokok dewasa pria maupun wanita segera beralih ke produk alternatif,” sebut André Calantzopoulos, Chief Executive Officer FDA.

Sejalan dengan perkembangan di luar negeri, anggota paguyuban sepakat untuk mendorong pemerintah melakukan riset lokal terkait HPTL.

Harapannya, dengan riset yang dilakukan secara independen dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, perkembangan industri HPTL menjadi lebih terarah.

“Oleh sebab itu kami berharap ke depan dilakukan riset, dari situ akan diketahui profil risiko dan cukai akan disesuaikan dengan risiko yang sesungguhnya,” imbuh Garindra.