<p>Seorang karyawan tengah menata rokok dari berbagai jenis dan merk di sebuah etalase waralaba kawasan Cengkareng Jakarta Barat, Rabu 17 Maret 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Nasional

Rokok Ilegal Makin Marak, Kenaikan Cukai 2025 Perlu Dikaji Ulang

  • Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang berlebihan secara terus-menerus dinilai menyebabkan merosotnya realisasi penerimaan negara dari CHT hingga 2,35%
Nasional
trenasia

trenasia

Author

JAKARTA – Penerapan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang terlalu tinggi setiap tahunnya memicu berbagai polemik baru, salah satunya yaitu perpindahan konsumsi ke rokok murah hingga rokok ilegal. 

Tidak hanya itu, besaran kenaikan tarif CHT yang berlebihan secara terus-menerus juga dinilai menjadi penyebab merosotnya realisasi penerimaan negara dari CHT hingga 2,35% (yoy) atau senilai Rp213,48 triliun pada tahun 2023.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, turut menyoroti kinerja fungsi cukai yang tidak tercapai sebagai sumber penerimaan negara serta pengendalian konsumsi. Realisasi penerimaan cukai rokok justru berkurang, sementara angka prevalensi perokok tak kunjung turun. 

Kebijakan kenaikan CHT di tahun 2023-2024 juga dinilai tidak mampu membendung maraknya perpindahan konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal.

“Permasalahannya kalau rokok ilegal dengan harga Rp15 ribu itu semuanya masuk ke perusahaan, sedangkan rokok legal yang masuk ke perusahaan hanya 25%, selebihnya masuk ke negara berupa cukai. Berarti apabila rokok legal dengan harga Rp35 ribu maka hanya sekitar Rp8-9 ribu yang masuk ke perusahaan untuk biaya produksi, karyawan, dan keuntungan. Ya, pasti kalah kalau (yang legal) mau melawan yang ilegal," ungkap Adik kepada wartawan.

Adik menambahkan pemerintah harus lebih serius dalam menutup usaha rokok ilegal untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebab, angka kerugian negara dari usaha ilegal, termasuk rokok ilegal, jumlahnya sudah sangat tinggi sekali untuk dapat ditambal oleh negara. Selain itu, Adik juga menegaskan angka kenaikan cukai idealnya single digit.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Misbakhun, menjelaskan penyebab menjamurnya rokok ilegal tidak lepas dari pengaruh kenaikan harga rokok akibat dorongan tarif cukai yang kenaikannya jauh lebih tinggi dari angka inflasi nasional serta pendapatan konsumen. 

Hal tersebut, ungkap Misbakhun, pada akhirnya berimbas pada daya beli masyarakat, sehingga rokok ilegal semakin menjamur dan akhirnya menurunkan produksi rokok.

"Peningkatan tarif cukai tidak serta merta menurunkan minat merokok masyarakat, justru konsumen cenderung mencari produk yang harganya memenuhi kemampuan membelinya. Oleh sebab itu, setiap kenaikan tarif cukai perlu diiringi dengan peningkatan pengawasan yang semakin ketat terhadap sejumlah perusahaan rokok ilegal. Penurunan volume produksi rokok karena merebaknya rokok ilegal tentu merugikan negara," tegasnya.

Maka dari itu, Misbakhun mengatakan, kenaikan cukai secara terus-menerus akan berdampak pada peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang terbukti melalui penurunan jumlah pabrikan rokok, terutama Golongan 1 karena Golongan 1 memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga. 

Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi di industri yang terlibat dalam menentukan kebijakan cukai di Indonesia dengan melakukan “rembuk bersama” semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan.

"Kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok. Sehingga, saat ini pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," tutupnya.