Nasional & Dunia

Rokok Murah dan Pengaruh Teman Tingkatkan Peluang Anak Jadi Perokok

  • Di antara perokok anak, 1,5% perokok mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5-9 tahun. Sehingga Indonesia mendapat julukan baby smoker country dan 56,9% perokok memulai merokok pada usia 15-19 tahun (Riskesdas 2013).

Nasional & Dunia
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menunjukkan harga rokok murah (price effect) dan pengaruh teman sebaya (peer effect) menjadi dua faktor utama penyebab anak menjadi perokok.

Secara umum, peer effect dan price effect berpengaruh terhadap peluang anak merokok. Estimasi pengaruh teman sebaya berkisar 0,1%–49% dari tiap 1% proporsi teman sebaya yang merokok.

Price effect (harga rokok) berhubungan negatif dengan peluang anak merokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensinya,” kata Ketua Peneliti, Teguh Dartanto, dalam diskusi secara virtual, Kamis, 27 Agustus 2020.

Faktanya, persentase perokok usia 10–18 tahun terus naik dari 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1 % pada 2018. Angka ini jauh dari rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJM) 2019 dengan target prevalensi merokok usia muda 5,2%.

Perokok di Indonesia

Merujuk data Kementerian Kesehatan (2018), Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia dalam hal konsumsi rokok setelah China dan India. Jika 38,3% penduduk adalah perokok dan sekitar 20% di antaranya adalah remaja usia 13–15 tahun.

Di antara perokok anak, 1,5% perokok mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5-9 tahun. Sehingga Indonesia mendapat julukan baby smoker country dan 56,9% perokok memulai merokok pada usia 15-19 tahun (Riskesdas 2013).

Studi ini merekam tiga informasi penting yaitu status anak merokok, proporsi teman sebaya yang merokok dan rata-rata tingkat harga rokok di lingkungan tempat tinggal anak.

Hasilnya, prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia (7-18 tahun) berdasarkan Susenas 2015 sebesar 2,7%. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada usia 16-18 tahun, namun tidak sedikit dari anak usia 7–12 tahun juga telah merokok.

Berdasarkan estimasi peneliti dengan data Susenas, total perokok anak dan remaja di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa.

Langkah Menekan Prevalensi

Untuk itu, Ketua PKJS-UI, Aryana Satrya mengungkapkan jika harga rokok tetap murah, prevalensi perokok muda akan terus meningkat, dan menyebabkan kesehatan yang signifikan serta beban ekonomi.

“Pemerintah harus segera menaikkan cukai secara seragam minimal 25% untuk 2021 demi mengurangi prevalensi perokok muda dan dewasa yang mengkhawatirkan di Indonesia,” tegasnya.

Selain tarif cukai, dia menilai layer cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia saat ini masih kompleks dan banyak golongannya. Inilah yang kemudian menyebabkan harga rokok bervariasi dan memberikan banyak pilihan rokok murah.

“Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan cukai rokok saja belum cukup optimal menurunkan prevalensi merokok,”

Aryana menyebut pemerintah perlu menyederhanakan struktur tarif CHT untuk mengurangi konsumsi rokok anak. Selain itu, simplifikasi juga dianggap sebagai salah satu instrumen meningkatkan pendapatan negara. (SKO)