Rokok Murah Jadi Biangkerok Prevalensi Perokok Tak Kunjung Turun
Keterjangkauan harga rokok disebut memiliki pengaruh terhadap prevalensi perokok anak muda.
Nasional
JAKARTA— Keterjangkauan harga rokok disebut memiliki pengaruh terhadap prevalensi perokok anak muda.
Youth Tobacco Control Advocate Komnas Pengendalian Tembakau Manik Marganamahendra mengatakan, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, harga rokok semakin terjangkau di pasaran.
“Ada harga yang memengaruhi akses rokok,” katanya dalam diskusi virtual Sharing Session Bagaimana Pengendalian Tembakau di Indonesia pekan lalu.
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- Cegah Ledakan Kasus COVID-19, Pemerintah Geser dan Hapus Hari Libur Nasional Ini
- Penyaluran KPR FLPP: BTN Terbesar, Tiga Bank Daerah Terbaik
Ia menyebut, tingkat keterjangkauan harga rokok di Indonesia sangat tinggi. Angkanya bahkan minus 50%, lebih besar dibandingkan dengan negara lain. Artinya, rokok sangat terjangkau di masyarakat.
Dengan demikian, lanjutnya, dampak keterjangkauan ini membuat prevalensi perokok anak naik dari 7,2% menjadi 9,1% pada 2020. Pemerintah pun dianggap gagal mencapai target RPJMN 2014-2019 yang ingin menurunkan prevalensi perokok anak.
Menurut Manik, keterjangkauan harga rokok ini juga dipicu oleh perilaku bisnis perusahaan yang kurang baik. Pasalnya, harga rokok yang dijual rendah membuat masyarakat mudah untuk membeli produk tersebut.
Sebelumnya, peneliti dari Center of Human dan Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Adi Musharianto juga mengatakan, rendahnya harga rokok ini terjadi karena pengawasan yang kurang optimal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
“Pelanggaran menjual rokok lebih rendah dari harga banderol, disebabkan dari aturan yang memungkinkan perusahaan untuk menjual di bawah 85 persen dari harga banderol,” katanya dalam webinar daring, pekan lalu.
Aturan tersebut di antaranya tercantum dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017, PMK Nomor 146 Tahun 2017, dan Perdirjen Bea dan Cukai Nomor 25 Tahun 2018.
Padahal, menurut Adi, penetapan minimum harga 85% pada mulanya dibuat untuk tujuan pengendalian harga rokok. Namun, ia menilai implementasi dari kebijakan teknis justru tidak optimal.
“Harga Tranksasi Pasar (HTP) minimal 85 persen awalnya adalah niat baik pemerintah untuk mengendalikan harga rokok. Selama ini masih banyak rokok yang dijual terlalu rendah atau lebih rendah dari harga banderol cukai di beberapa daerah,” tuturnya.
Maka, kondisi inilah yang membuat harga rokok masih terjangkau di pasaran sehingga berdampak pada angka prevalensi perokok yang tidak kunjung mengalami penurunan. (SKO)