RPP Instrumen Carbon Pricing Sudah Tahap Final
JAKARTA – Rancangan Peraturan Presiden (RPP) tentang instrumen nilai ekonomi karbon (carbon pricing) sudah dalam tahap final. “Saat ini sudah dalam tahap final untuk terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK),” mengutip Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 Maret 2021. Ia mengungkapkan, kebijakan ini […]
Industri
JAKARTA – Rancangan Peraturan Presiden (RPP) tentang instrumen nilai ekonomi karbon (carbon pricing) sudah dalam tahap final.
“Saat ini sudah dalam tahap final untuk terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK),” mengutip Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 Maret 2021.
Ia mengungkapkan, kebijakan ini didorong sebagai upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Seperti diketahui, Nationally Determined Contribution (NDC) telah menetapkan angka sebesar 29% tanpa syarat alias dengan usaha sendiri atau 41% melalui dukungan internasional dalam pengurangan emisi pada 2030.
Targetnya, negara-negara di dunia mampu menciptakan pembangunan rendah karbon melalui pengaturan perdagangan emisi. Siti bilang, pelaksanaan perdagangan tersebut akan menjadi wahana pembelajaran bagi negara yang ingin menurunkan emisi gas rumah kaca.
Kebijakan Transisi Energi
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga menyebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan transisi energi dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam hal ini, transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan harus terus diperhatikan menyangkut aksesibilitas, keterjangkauan, ketersediaan, kesetaraan, dan keandalan.
Implementasi kebijakan yang pertama adalah reformasi subsidi energi, sekaligus menjaga keterjangkauan dan keamanan pasokan energi.
“Indonesia telah bertransformasi dengan memanfaatkan lebih banyak sumber energi dalam negeri, terutama gas alam dan energi terbarukan untuk mengurangi masalah neraca perdagangan,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2021 surplus US$2 miliar. Realisasi itu lebih tinggi dari surplus US$1,96 miliar pada Januari 2021.
Secara kumulatif, surplus pada neraca perdagangan Indonesia sudah mencapai US$3,96 miliar sepanjang Januari dan Februari 2021.
Surplus tersebut disebabkan oleh nilai ekspor Indonesia pada Februari 2021 yang mencapai US$15,27 milar, naik 8,56% secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan Februari 2020.
Selain itu, nilai impor Indonesia pada Februari 2021 menyentuh angka US$13,26 miliar, naik 14,86% yoy dibandingkan periode yang sama 2020.
Program Mandatori Biodiesel
Adapun kebijakan kedua, Arifin melanjutkan, pemerintah juga menjalankan program mandatori biodiesel 30% atau B30 untuk mengurangi impor bahan bakar fosil. Arifin bilang, pihaknya tidak hanya memanfaatkan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar nabati, tetapi juga mencari peluang untuk pembangunan ekonomi yang lebih besar.
Saat ini, Indonesia diketahui tengah mengembangkan co-firing biomassa pada beberapa pembangkit listrik. Skala penggunaan teknologi ini juga diperluas dengan mengombinasi antara clean coal technology, co-firing biomassa, dan Carbon Capture, Utilization, and Storage atau CCS/CCUS.
Di samping itu, Arifin juga menyebut pengembangan kendaraan listrik dan industri energi sebagai lanjutan. Hal ini diklaim sebagai salah satu sumber daya industri teknologi bersih dan terbarukan.
Dalam meningkatkan industri ekstraktif yang memiliki nilai tambah, kata dia, pemerintah pun terbuka untuk melakukan kerja sama dan kemitraan konstruktif pada program industri ekstraktif hilir.