<p>Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto (kedua kiri) bersama Sekretaris Umum Iyus Ruslan menyampaikan aspirasi serikat pekerja yang menolak rencana Revisi PP 109/2012 di Jakarta, Jumat, 4 Juli 2021.Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

RTMM SPSI Yogyakarta Tolak Revisi PP 109/2012

  • Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Waljid Budi Lestarianto menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Nasional
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Waljid Budi Lestarianto menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

RTMM DIY menilai rencana tersebut tidak tepat di saat situasi ekonomi belum kondusif akibat pandemi COVID-19. “Revisi PP 109 akan menjadi persoalan serius di tengah situasi ekonomi yang tak kunjung pulih. Hanya akan memperparah situasi,” kata Waljid kepada wartawan, 29 Juni 2021.

Proses Tidak Transparan

Ia mengatakan, ada hal yang kurang transparan terutama dalam proses pembahasan PP 109/2012. Pihak-pihak yang berkompeten justru tidak pernah dilibatkan dalam proses revisi sejak awal, terutama pada saat pertemuan yang sifatnya intensif.

Kelompok yang mengatasnamakan kesehatan, secara sadar mendorong rencana revisi PP 109/2012. Menurutnya, kelompok ini mengambil keuntungan dari situasi saat ini. Seperti diketahui, pemerintah dan masyarakat tengah berjibaku menghadapi pandemi. Sementara kelompok antitembakau mendorong revisi aturan melalui aliran dana dari institusi asing Bloomberg International.

Perumusan kebijakan tersebut, lanjutnya, hanya terbatas mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Pemangku kepentingan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang terdampak justru tak diberitahu mengenai perubahan regulasi tersebut.

Ia bilang, proses tersebut melanggar amanah Undang-Undang (UU). “Lagi-lagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ditunggangi oleh kepentingan lain sehingga stakeholder tidak diberi tahu hingga fase akhir revisi dan tahap sosialisasi. Modus ini banyak juga dilakukan pada proses penyusunan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR),” ungkapnya.

BPOM sebagai salah satu aktor penting revisi kebijakan PP 109/2012, mengakui pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan sektor IHT di dalam proses revisi. Hal ini disampaikan Waljid berdasarkan informasi yang diperoleh dari perwakilan BPOM yang menyatakan bahwa perumusan revisi PP akan disampaikan kepada stakeholder terkait. Dengan kata lain, penyampaiannya dilakukan pada saat revisi  PP 109/2012 sudah final.

“Kita bisa saksikan sendiri ada rencana pembahasan di mana kita semua dalam situasi yang sulit, termasuk pabrik di mana tempat kita bekerja,” ucapnya.

PD FSP RTMM-SPSI dalam pernyataan sikapnya mengakui, IHT terus menghadapi tantangan berat. Situasi saat ini, dalam rancangan revisi PP tersebut IHT harus meningkatkan perluasan peringatan kesehatan berbentuk gambar yang awalnya sebesar 40% menjadi 90%.

Produksi IHT Menurun

Sementara itu, saat pandemi meluas di Indonesia, produksi IHT secara umum menurun. Dampaknya terhadap produksi IHT menyangkut tenaga kerja. Industri yang padat karya ini harus mengurangi jam kerja buruh di pabriknya masing-masing guna menghindari penyebaran virus.

“Kami pekerja sektor rokok yang tergabung dalam PD FSP RTMM-SPSI DIY meminta para pihak baik eksekutif maupun legislatif menunda pembahasan rancangan PP109/2012 atas dasar kemanusiaan,” ujarnya.

Adapun pada 4 Juni 2021, Pengurus Pusat FSP RTMM SPSI telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan proses revisi PP 109/2012. Di sisi lain, meskipun revisi aturan ini diusulkan oleh Kemenkes, tetapi tidak semua kementerian di industri terkait memiliki pendapat serupa.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin), misalnya, mengatakan bahwa revisi tidak tepat apabila dilakukan pada situasi pandemi karena bisa memperburuk kondisi IHT. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, situasi industri ini sedang turun sehingga fokus saat ini ada pada pemulihan ekonomi. (SKO)