Rugi Investasi Dianggap Korupsi (Serial 2): BPJS Ketenagakerjaan Hengkang, Pasar Modal Goyang
Kerugian yang didapat BPJS Ketenagakerjaan itu karena risiko pasar, kalau Jiwasraya atau ASABRI mengalami kerugian karena risiko saham. Ini dua hal yang berbeda.
Pasar Modal
JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek pada akhir Maret 2021 menyatakan rencananya untuk mengurangi porsi investasi pada pasar saham. Hal ini sontak direspons negatif oleh para pelaku pasar modal Indonesia.
Bagaimana tidak, sehari setelah pengumuman tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpental dari level psikologis 6.000 pada akhir sesi perdagangan Rabu, 31 Maret 2021. Indeks komposit terkoreksi signifikan sebesar 1,42% ke level 5.985,52 menutup perdagangan periode Maret 2021.
Pengamat Pasar Modal Satrio Utomo menilai penarikan investasi BP Jamsostek dari pasar modal membuat bursa kurang kondusif. Pasalnya, BP Jamsostek sendiri merupakan salah satu pemain utama penggerak pasar modal Indonesia.
- Tidak Mampu Bayar Kupon Global, BEI Gembok Saham Garuda Indonesia
- Basis Investor Ritel Menguat, Kemenkeu Optimis SBN Ritel Diburu Investor
- 23 Perusahaan Antre IPO: Pak Erick, Masih Belum Ada BUMN di Daftar BEI
Sebagai catatan, total dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan saat ini mencapai Rp486,38 triliun dan menjadikannya investor institusional dengan dana kelolaan terbesar di Indonesia. Adapun porsi penempatan investasi sekitar 17% atau setara Rp82,68 triliun pada pasar saham dan sekitar 8% atau setara Rp38,9 triliun di reksa dana.
Kebijakan yang diambil BP Jamsostek ini membuatnya berada posisi sideline alias tidak melakukan transaksi apapun di pasar modal. Padahal, sebagai institusi yang memiliki dana besar, kehadiran BP Jamsostek selama ini dianggap penting.
“Harga saham itu bisa naik kalau ada yang mau beli. Nah, yang bisa melakukan pembelian secara kontinyu di bursa kita itu ya BP Jamsostek. Selama dia tidak ada di pasar, biasanya kondisi pasar jadi lesu,” kata pria yang akrab disapa Tommy tersebut kepada TrenAsia.com, Minggu 18 April 2021.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, mayoritas portofolio investasi saham milik BP Jamsostek ditempatkan pada saham-saham emiten big caps dan blue chips. Setidaknya, 25 dari 34 portofolio investasi saham BP Jamsostek merupakan emiten yang tergabung dalam konstituen Indeks LQ45.
Artinya, saham-saham yang dikoleksi oleh BP Jamsostek merupakan saham-saham emiten yang memiliki fundamental baik dengan kapitalisasi jumbo di atas Rp100 triliun.
Untuk kitu, kebijakan untuk mengurangi porsi investasi saham akan menjadi tantangan baru bagi pelaku pasar modal di tengah kondisi pemulihan ekonomi.
Gejolak Bagi IHSG
Tommy menambahkan, saham-saham emiten big caps dan blue chip telah menjadi penopang utama pergerakkan IHSG selama ini. Sedangkan, mayoritas investor yang tertarik membeli saham emiten big caps dan blue chip merupakan investor asing dan investor instusi dengan dana kelolaan jumbo seperti BPJS Ketenagakerjaan.
“Sikap wait and see BP Jamsostek ini sangat berdampak karena insitusi ini merupakan salah satu pelaku utama (pasar modal), terutama dalam saham-saham big caps dan blue chip yang merupakan penggerak IHSG,” kata dia.
Senada, Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama mengafirmasi bahwa rencana BP Jamsostek itu sempat memengaruhi kinerja IHSG. Bahkan, hal ini menjadi sentimen tersendiri bagi pasar modal yang berujung pada lesunya perdagangan.
“Sentimen dalam negeri masih disertai dengan rencana BPJS Ketenagakerjaan yang akan mengurangi porsi investasi saham dan reksa dana,” kata dia beberapa waktu lalu.
- IHSG Masih Konsolidasi Usai Rilis BI Rate, Simak Saham EMTK, LSIP, ZYRX, dan WIKA
- Saham Pilihan Mirae Sekuritas Juni 2021: BBRI Ditendang Diganti PRDA, Temani ANTM hingga INCO
- IHSG Terancam Bearish Jelang Rilis BI Rate, Rekomendasi Saham AALI, SMRA, BNGA, dan GGRM
Pada kesempatan terpisah, Direktur PT MNC Asset Management Edwin Sebayang justru mengangap bahwa wacana tersebut tidak sama sekali memengaruhi kondisi pasar.
Walaupun dana kelolaan BP Jamsostek cukup besar, baginya yang paling utama ialah bagaimana prospek IHSG ke depan dan kinerja saham-saham emiten di dalam negeri.
“Saya rasa tidak (memengaruhi). Jadi bukan soal sumber dananya, tapi bagaimana prospek IHSG dan saham-saham tersebut,” tulisnya melalui pesan singkat.
Sementara itu, Direktur Perdagangan dan Pengaturan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Laksono W. Widodo menilai kebijakan investasi dari para pengelola dana publik merupakan kebijakan yang independen.
“Kami sebagai regulator Bursa menghargai keputusan dari para pengelola atau manajer investasi tersebut,” tutur dia kepada awak media.
Ia menjelaskan bahwa besarnya dana kelolaan BP Jamsostek sebagian besar ditempatkan pada efek bersifat utang pemerintah dan swasta serta deposito. Dengan begitu, kebijakan tersebut kemungkinan besar tidak akan memengaruhi nilai transaksi di Bursa secara signifikan.
Ancaman Pidana Akibat Risiko Investasi
Kebijakan yang diambil BP Jamsostek tak muncul begitu saja. Pemicunya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana investasi BP Jamsostek yang dilontarkan oleh pihak Kejaksaan Agung (Kejagung).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah mengatakan setidaknya dalam tiga tahun terakhir BP Jamsostek merugi. Pihaknya mempertanyakan kemungkinan risiko bisnis serta pengelolaan uang nasabah yang dijalani oleh perusahaan pelat merah tersebut.
“Kalau itu kerugian atas risiko bisnis, bagaimana analisisnya sampai menyebabkan kerugian Rp20 triliun?” ucap Febrie dikutip Senin, 15 Februari 2021.
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- Cegah Ledakan Kasus COVID-19, Pemerintah Geser dan Hapus Hari Libur Nasional Ini
- Penyaluran KPR FLPP: BTN Terbesar, Tiga Bank Daerah Terbaik
Menurut dia, belum ada perusahaan yang pernah mengalami unrealized loss sebesar BP Jamsostek dalam jangka waktu tiga tahun. Hingga saat ini, Kejagung masih mendalami kemungkinan analisis keuangan yang salah atau dalam kasus ini, bisa saja disengaja.
Berdasarkan portofolio saham dan reksa dana yang dimiliki BP Jamsostek, Tommy menilai bahwa penurunan nilai investasi alias unrealized loss yang dialami perusahaan tersebut adalah hal yang wajar. Singkatnya, kondisi ini merupakan risiko pasar saham yang tidak dapat dipastikan oleh siapa pun.
“Kalau ini semata-mata hanya karena strategi investasi, seharusnya tidak bisa dikenakan sanksi pidana. Saya tidak melihat BP Jamsostek pernah menempatkan dana pada saham dengan fundamental buruk,” paparnya.
Bagi Tommy, pola investasi yang dijalani oleh BP Jamsostek juga berbeda dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) atau bahkan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau ASABRI.
Alasannya, tidak terdeteksi adanya pembelian saham atau reksa dana abal-abal yang dilakukan oleh BP Jamsostek layaknya Jiwasraya dan ASABRI. Contoh lainnya, BP Jamsostek juga menempatkan dana kelola pada instrumen reksa dana di perusahaan manajemen aset PT Schroder Investment Management Indonesia. Setelah ditelisik, tidak ada satu pun produk reksa dana yang mencurigakan.
“Jadi kerugian yang didapat BP Jamsostek itu karena risiko pasar, kalau Jiwasraya atau ASABRI mengalami kerugian karena risiko saham. Ini dua hal yang berbeda,” jelas Tommy.
Dengan begitu, Tommy mengimbau agar Kejagung dapat segera menyelesaikan persoalan yang menjadi dugaan institusi hukum tersebut dengan bukti-bukti yang ada. Jika tidak, kata dia, hal ini hanya akan memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan pasar modal Indonesia.
“Menjadi tugas Kejaksaan untuk membedah portofolio investasi yang dianggap bermasalah itu. Nah, ini yang sampai sekarang belum saya temukan yang menjadi permasalahan. Kalau soal dikatakan ada dugaan korupsi, ya harus dibuktikan di pengadilan,” tegasnya. (SKO)
Artikel ini merupakan serial laporan khusus terakhir dari tulisan sebelumnya berjudul “Rugi Investasi Dianggap Korupsi (Serial 1) : Strategi BPJS Ketenagakerjaan Hindari Unrealized Loss.”