Bendera Uni Eropa Berkibar di Luar Komisi Eropa di Brussel, Belgia (Reuters/Yves Herman)
Nasional

Rumitnya Perang Sawit Indonesia VS Eropa, Berikut Alurnya

  • Uni Eropa kembali menerbitkan aturan RED II, yang membatasi penggunaan CPO dalam biofuel dan memasukkan isu hak asasi manusia dan deforestasi disektor industri sawit. Pemerintah Indonesia menganggap kebijakan ini sebagai deklarasi perang dagang

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Konflik antara Indonesia dan Uni Eropa terkait minyak kelapa sawit (CPO) semakin memanas, dengan perbedaan pandangan tentang isu deforestasi dan hak asasi manusia sebagai akar permasalahan yang belum menemui titik temu.

Awal Mula Konflik

Ketegangan dimulai dari kebijakan diskriminatif Uni Eropa terhadap CPO dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti minyak rapeseed dan bunga matahari. 

Berbagai regulasi uni eropa seperti Directive 2004/38/EC dan aturan berkaitan dengan Renewable Energy Directive (RED) I dan II, yang membatasi penggunaan CPO dalam biofuel, turut memperkeruh hubungan.

Kebijakan Uni Eropa telah mengakibatkan penurunan ekspor CPO dari Indonesia secara signifikan. Hal ini memicu kemarahan presiden Joko Widodo, karena menimbulkan anjloknya hasil produksi sawit petani sawit dan merenggangkan hubungan politik antara kedua pihak.

Indonesia Melawan

Berbagai upaya penyelesaian terus dilakukan, termasuk perundingan bilateral, gugatan ke WTO, serta kampanye diplomasi dan publik. 

Indonesia merespons dengan kampanye "Heart of Palm Oil" untuk melawan narasi negatif terhadap CPO dari Uni Eropa.

Kampanye "Heart of Palm Oil" diluncurkan pada tahun 2021 untuk menanggapi persepsi negatif terhadap minyak kelapa sawit, khususnya dari Uni Eropa. 

Sasarannya adalah mengatasi kekhawatiran tidak masuk akal berkaitan dengan penggundulan hutan dan keberlanjutan produksi minyak sawit, serta mempromosikan manfaat ekonomi sawit bagi petani serta manfaat besarnya sebagai minyak goreng. 

Strategi kampanye ini meliputi peningkatan kesadaran publik global tentang praktik bertanggung jawab dalam produksi minyak sawit di Indonesia, melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti konsumen dan media untuk menyediakan informasi yang akurat, serta menyoroti dampak positif sawit terhadap masyarakat lokal dan pengurangan kemiskinan.

Meskipun mendapat kritik sebagai bentuk "greenwashing" yang tidak menangani akar masalah penggundulan hutan, kampanye ini diklaim membantu Indonesia memperbaiki citra global minyak kelapa sawit dan menantang narasi yang ada, terutama yang dibuat oleh Uni Eropa.

Beberapa putusan telah diambil, seperti keputusan Pengadilan Tinggi Uni Eropa yang menyatakan RED II sah. Namun, Indonesia tetap melawan dengan melanjutkan gugatannya ke WTO sebagai upaya memperoleh keadilan.

Saat ini industri sawit Indonesia dihadapkan pada dua pilihan strategis, menyesuaikan diri dengan regulasi ketat Uni Eropa yang dapat meningkatkan biaya produksi, atau mencari pasar alternatif di luar Uni Eropa, seperti di negara-negara Asia dan Afrika.

Alur Konflik Sawit Indoneisa VS Eropa

  • 1990-an: Uni Eropa mulai menerapkan kebijakan yang mendiskriminasi minyak kelapa sawit (CPO) dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti minyak rapeseed dan bunga matahari.
  • 2004: Uni Eropa mengeluarkan Direktif 2004/38/EC tentang biofuel, yang membatasi penggunaan CPO dalam biofuel karena kekhawatiran deforestasi.
  • 2008: Uni Eropa juga mengeluarkan aturan Renewable Energy Directive (RED) I, yang memperkuat pembatasan penggunaan CPO dalam biofuel.
  • 2018: Uni Eropa kembali menerbitkan aturan RED II, yang membatasi penggunaan CPO dalam biofuel dan memasukkan isu hak asasi manusia dan deforestasi disektor industri sawit.
  • 2019: Indonesia resmi menggugat Uni Eropa ke WTO atas kebijakan RED II yang dianggap mendiskriminasi CPO.
  • 2020: Uni Eropa berencana menghapus CPO dari daftar bahan bakar nabati yang diizinkan.
  • 2021: Indonesia meluncurkan kampanye "Heart of Palm Oil" untuk melawan kampanye negatif terhadap CPO dari Uni Eropa.
  • 2022: Pengadilan Tinggi Uni Eropa memutuskan bahwa RED II sah, tetapi Indonesia tetap melawan dengan melanjutkan gugatannya ke WTO.

Konflik antara Indonesia dan Uni Eropa terkait CPO adalah contoh nyata kompleksitas dalam perdagangan internasional, melibatkan isu lingkungan, sosial, dan ekonomi yang tidak mudah diselesaikan.