Rumor GoTo Lewat Tokopedia Bakal Jual OVO Sebelum IPO, Bagaimana Peta Persaingan Dompet Digital di Indonesia?
Fintech

Rumor GoTo Lewat Tokopedia Bakal Jual OVO Sebelum IPO, Bagaimana Peta Persaingan Dompet Digital di Indonesia?

  • Entitas hasil merger Gojek dan Tokopedia (GoTo) dikabarkan akan melepas kepemilikan saham di perusahaan dompet digital, PT Visionet International (OVO). Rumor ini kembali mengemuka jelang rencana GoTo melakukan aksi penawaran umum saham perdana (intial public offering/ IPO).

Fintech

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Entitas hasil merger Gojek dan Tokopedia (GoTo) dikabarkan akan melepas kepemilikan saham di perusahaan dompet digital, PT Visionet International (OVO). Rumor ini kembali mengemuka jelang rencana GoTo melakukan aksi penawaran umum saham perdana (intial public offering/ IPO).

Menurut sumber TrenAsia.com yang enggan disebutkan identitasnya mengatakan, pelepasan saham OVO oleh GoTo disebabkan oleh aturan Bank Indonesia (BI) yang melarang perusahaan menjadi pemegang saham pengendali di lebih dari satu fintech pembayaran.

Sebagaimana diketahui, ekosistem GoTo telah memiliki Gopay sebagai salah satu anak usaha. Sedangkan, DealSreetAsia dan M2Insights melaporkan Tokopedia menggenggam saham OVO lebih dari 35%.

Tokopedia dilaporkan memiliki 36,1% saham induk OVO, yakni Bumi Cakrawala Perkasa. Bahkan, pendiri Tokopedia, William Tanuwijaya diketahui memegang 5% saham induk OVO melalui PT Wahana Inovasi Lestari yang kemudian diakuisisi oleh Grab pada Februari 2020.

“Karena aturan tidak membolehkan Gopay dan OVO bersama, market-nya terlalu besar,” ujar sumber TrenAsia.com yang mengetahui kabar tersebut.

Komposisi pemegang saham ini juga ikut menyandung rencana IPO GoTo di bursa saham Amerika Serikat. Hingga berita ini dimuat, pihak GoTo maupun Tokopedia belum membalas pesan singkat TrenAsia.com untuk dimintai konfirmasi atas rumor tersebut.

Sementara itu, Head of Corporate Communications OVO, Harumi Supit merespons, “Mohon maaf kami tidak dapat memberikan komentar terhadap rumor dan spekulasi di pasar,” kata dia pada TrenAsia.com.

Otak-Atik Konstelasi Platform Pembayaran Digital

Ilustrasi Dompet digital Dana / Dok. DANA

Tak kalah santernya, rumor merger OVO dan DANA juga sempat menguat beberapa waktu lalu. Hal ini diperkuat lantaran perusahaan ride hailing asal Singapura, Grab dikabarkan masuk ke perusahaan induk Indosiar dan SCTV, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) alias Emtek.

Diberitakan Straits Times, Grab masuk ke Emtek melalui H Holdings Inc untuk menyerap sekitar 4% saham atau senilai Rp4 triliun lewat mekanisme penambahan modal tanpa memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD/private placement).

Pada 5 April 2021, Emtek mengumumkan telah menyelesaikan private placement senilai Rp9,3 triliun. Diketahui,NAVER Corporation, mesin pencari web terbesar di Korea Selatan, dan perusahaan investasi bernama H Holdings Inc menjadi pembeli saham yang mewakili sekitar 8,4% dari modal perusahaan.

Tak hanya itu, Emtek juga dilaporkan telah menjual kepemilikan saham senilai 6% atas entitas cucu usahanya yakni PT Elang Andalan Nusantara (EAN) kepada pihak ketiga. Entitas tersebut merupakan perusahaan penyedia aplikasi dompet digital DANA.

Sejumlah aksi itulah yang menguatkan kabar merger OVO dan DANA. Kabarnya, merger kedua perusahaan dompet digital ini guna mengimbangi persaingan dengan Gopay yang dimilik Gojek dan LinkAja milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Terlebih, Sinarmas Grup dikabarkan tengah melakukan pembicaraan dengan Emtek perihal akuisis DANA. Kabar tersebut membuat pemain dompet digital di Indonesia kian besar sekaligus ramping, alias dikuasai oleh segelintir perusahaan saja.

Menanggapi persaingan bisnis saat ini, Harumi menegaskan, OVO sebagai perusahaan fintech sejak awal mengusung pendekatan terbuka untuk berkolaborasi dengan semua pihak (open ecosystem strategy). 

“Pendekatan ini telah memungkinkan kami untuk mampu memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pengguna OVO,” sambung dia.

Melalui ekosistem terbuka tersebut, lanjut Harumi, OVO terus melakukan inovasi, peningkatan kualitas, dan kolaborasi strategis yang berkelanjutan dengan banyak mitra yang kredibel.  Seperti misalnya Bank BRI, Blibli, Bhinneka.com, Grab, Lazada, Manulife Aset Manajemen Indonesia, Prudential Indonesia, Zalora, dan masih banyak lagi.

Persaingan Dompet Digital

Dompet digital LinkAja dari PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) / Dok. LinkAja

Mengamati gerak-gerik merger perusahaan digital, sejatinya ekonom Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda melihat ekosistem terbuka yang dianut OVO sendiri sudah cukup besar dan mampu bersaing dengan kompetitor.

Ia pun menanggapi, andaikan GoTo merealisasikan pelepasan sahamnya di OVO, itu merupakan hal yang wajar dan tidak berkaitan dengan ukuran market keduanya yang terlalu besar. 

“GoTo pasti memilih Gopay sebagai pilihan pertama transaksi pembayaran di platform miliknya. Jadi menurut saya kepentingan pengembangan aplikasi pribadi menjadi paling utama,” kata dia pada TrenAsia.com.

Menurutnya, market OVO dan Gopay belum tentu menguasai 60% pasar dompet digital di Indonesia. Mengingat pesaingnya seperti ShopeePay dari Shopee, DANA di ekosistem Bukapalak, LinkAja yang masuk ke ekosistem transportasi milik BUMN seperti KRL dan jalan tol.

Alhasil, dia melihat Gopay, OVO, Shopeepay, DANA, dan Linkaja tetap akan menjadi Top 5 alias lima besar pemain di industri dompet digital. Sehingga bila menilik dari ekosistem aksi tersebut masih membuat persaingan pasar dompet digital masih dalam kategori sehat.

“Jadi alasan market telalu besar bukan jadi alasan utamanya,” terang Nailul.

Tak hanya kerap melancarkan aksi merger, akuisis dan sebagainya, platform dompet digital juga mulai merapat ke sejumlah perbankan digital. Strategi ini, menurutnya, penting untuk mengembangkan ekosistem terutama finansial yang dimiliki sebuah platform.

Pasalnya, bank digital mempunyai kewenangan yang lebih daripada payment, fintech peer-to-peer (P2P) lending, investasi, dan lainnya. Sehingga, wajar menurutnya jika Gojek menggandeng Bank Jago dan induk Shopee mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi (Seabank).  

“Saya rasa dompet digital lainnya pun akan berwacana masuk ekosistem bank digital juga.”

Daya Tarik OVO

Dompet digital OVO. / Facebook @OVOIDN

Riset dari Momentum Works bertajuk Blooming e-commerce in Indonesia menunjukkan perusahaan non-bank makin menguasai pasar e-money di Indonesia. Pada 2015, pasar e-money dipegang oleh 20 perusahaan yang terdiri atas non-bank 55% (11 perusahaan) dan 45% berasal dari sektor perbankan (9 perusahaan).

Empat tahun berselang, tepatnya 2019, terdapat peningkatan signifikan jumlah pemain yakni menjadi 40 perusahaan. Rinciannya, perusahaan non-bank sebanyak 70% (28 perusahaan) dan 30% (12 perusahaan) adalah bank. 

Dari 70% produk e-money dari perusahaan non-bank, terdapat lima pemain utama yang menguasi 80% total pasar pada 2019. Kelimanya adalah OVO (37%), Gopay (17%), Mandiri (13%), DANA (10%), dan ShopeePay (6%). 

Tak hanya e-money, OVO juga berhasil menguasai dompet digital independen di Indonesia dengan jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 20,8 juta per Mei 2021. Disusul oleh DANA (13,5 juta), dan LinkAja (7,2 juta).

Pesaingnya, yakni dompet digital tertanam pada suatu platform (non-independen) dipimpin oleh ShopeePay dengan jumlah pengguna aktif per bulan hingga lebih dari 10 juta per Mei 2021.

Menurut survei Mandiri Institute, saat ini OVO menjadi alat pembayaran elektronik yang paling sering dipilih UMKM Indonesia. Sudah ada lebih dari 1 juta merchant QRIS yang bergabung di platform OVO, tersebar di lebih dari 430 kota dan kabupaten di seluruh nusantara.

Hasil survei Kadence International Indonesia yang belum lama terbit juga menyimpulkan OVO sebagai platform pembayaran digital yang paling banyak digunakan di Indonesia baik secara online maupun offline.