Rupiah Makin Perkasa Usai Sentuh Level Terendah Rp16.608 per dolar AS
Hingga 27 Mei 2020, Bank Indonesia menyebut, kondisi nilai tukar rupiah masih undervalued dan belum menguat ke tingkat fundamentalnya.
Industri
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat sejak menyentuh level terendah Rp16.608 pada 23 Maret 2020. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) per 29 Mei 2020, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada level Rp14.733.
Penguatan nilai tukar rupiah sudah diprediksi Bank Indonesia pada pekan lalu. Beberapa faktornya antara lain inflasi yang rendah dan terkendali pada kisaran 3% plus minus 1%, defisit transaksi berjalan yang rendah, aliran masuk modal asing, dan imbal hasil yang menarik seiring tingginya perbedaan suku bunga (yield spread).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memperkirakan, inflasi Mei 2020 mencapai level 0,09% secara month to month (mtm) dan 2,21% secara tahunan (year on year/yoy). Di sisi lain, defisit transaksi berjalan pada tiga bulan pertama 2020 membaik dengan nilai US$3,9 miliar atau 1,4% dari produk domestik bruto (PDB).
Nilai itu jauh lebih rendah dari defisit pada triwulan sebelumnya US$8,1 miliar atau 2,8% dari PDB.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Di sisi lain, aliran modal asing mencatat inflow, terutama pada surat berharga negara (SBN) mencapai Rp6,15 triliun pada minggu II Mei 2020, meningkat dibandingkan dengan minggu pertama Mei 2020 yang tercatat inflow sebesar Rp2,97 triliun.
Menurut Bank Indonesia, hal ini membuktikan dengan meredanya kepanikan global dan langkah-langkah penangangan pandemic COVID-19 di Indonesia. Namun, pasar saham masih mencatat outflow di minggu II Mei 2020 sebesar Rp2,72 trilliun. Hal ini didorong oleh kondisi pasar saham global yang belum membaik.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut, net sell asing hingga akhir Mei 2020 mencapai Rp11,1 triliun.
Bank Indonesia juga memaparkan, yield SBN yang diperdagangkan di pasar sekunder mengalami penurunan sejalan dengan peningkatan confindence dan meningkatnya inflow. Sebelum pandemi COVID-19, yield SBN sebesar 8% dan pada 15 Mei 2020 turun menjadi 7,76%, kemudian pada 26 Mei 2020 turun menjadi 7,22%.
Perbedaan suku bunga yang tinggi sebesar 6,7%, antara yield SBN 10 tahun dan obligasi pemerintah AS 10 tahun, menarik untuk investor.
Hingga 27 Mei 2020, Bank Indonesia menyebut, kondisi nilai tukar rupiah masih undervalued dan belum menguat ke tingkat fundamentalnya. Hal itu disebabkan oleh faktor premi risiko seiring ketidakpastian di pasar keuangan global.
Premi risiko antara lain diukur melalui Credit Default Swaps (CDS). Sebelum pandemi COVID-19, premi CDS Indonesia sebesar 66 bps, dan pada puncak pandemi COVID-19 pada minggu II dan III Maret 2020, premi CDS Indonesia sebesar 245 bps.
Seiring dengan meredanya kepanikan pasar keuangan global dan langkah-langkah antisipasi penyebaran COVID-19, premi CDS Indonesia sekarang menurun menjadi 160 bps. Premi risiko ini diperkirakan akan menurun ke depan. (SKO)