
RUU Polri Mulai Digodok, Berikut Isi dan Kontroversinya
- Meski masih menunggu Surat Presiden (Surpres) untuk pembahasan resmi di DPR, draf RUU ini telah menjadi sorotan karena sejumlah pasal kontroversial yang memunculkan kekhawatiran masyarakat sipil.
Nasional
JAKARTA - Setelah pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang yang memicu demonstrasi di berbagai daerah, kini perhatian publik beralih ke Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
Meski masih menunggu Surat Presiden (Surpres) untuk pembahasan resmi di DPR, draf RUU ini telah menjadi sorotan karena sejumlah pasal kontroversial yang memunculkan kekhawatiran masyarakat sipil.
Komisi III DPR RI menyatakan siap membahas RUU Polri jika dianggap mendesak. Namun, saat ini mereka lebih memprioritaskan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Ketua DPR Puan Maharani menegaskan hingga kini pihaknya belum menerima Surpres terkait RUU Polri. Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang menyebut RUU ini tidak akan dibahas dalam waktu dekat.
"Belum ada surpres. Kami lihat lagi," ungkap Puan kala di konfirmasi di gedung parlemen, Jumat, 20 Maret 2025 kemarin.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menyatakan bahwa RUU Polri baru akan dibahas setelah Surpres diterima.
"Apakah akan dibahas di tempat tertentu? Tentu saja kami biasanya di sini, di parlemen," ujar Hinca kepada awak media di gedung DPR/MPR, Jakarta, dikutip Selasa, 25 Maret 2025.
Ia juga memastikan bahwa proses pembahasannya akan dilakukan secara transparan dengan melibatkan banyak ahli untuk memberikan masukan, seperti yang terjadi dalam pembahasan RUU KUHAP.
- Perbedaan Metode 1 Syawal Antara Muhammadiyah dan NU
- Daftar Perusahaan Penyebab Bencana Alam di Cijeruk dan Sukabumi
- Kekhawatiran Kembalinya Kekuatan Militer di Indonesia Bikin Investor Korea Resah
Isi dan Kontroversi RUU Polri
Beberapa pasal dalam RUU Polri menjadi perhatian publik karena dinilai memiliki potensi besar untuk memperluas kewenangan Polri. Beberapa pasal yang menuai kontroversi antara lain:
Rancangan perubahan terhadap beberapa pasal dalam regulasi kepolisian menegaskan peran dan kewenangan Polri yang lebih luas dalam berbagai aspek, mulai dari keamanan siber hingga pengelolaan sumber daya manusia.
Pasal 16 ayat 1 huruf q memberikan Polri kewenangan untuk melakukan pemblokiran atau perlambatan akses siber dengan alasan keamanan nasional.
Kewenangan ini berpotensi memperkuat pengawasan terhadap ancaman digital, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan dan mekanisme pengawasan agar tidak disalahgunakan.
Sementara itu, Pasal 14 ayat 1 huruf g menegaskan peran Polri dalam mengawasi kepolisian khusus, penyidik PNS, penyidik lainnya, serta pengamanan swakarsa.
Selain itu, Pasal 16A memungkinkan Polri untuk menyusun kebijakan intelijen yang menjadi bagian dari kebijakan nasional. Hal ini memberikan peningkatan peran strategis Polri dalam penyusunan kebijakan keamanan negara, yang dapat memperkuat upaya deteksi dini terhadap ancaman nasional.
Terakhir, Pasal 30 ayat 2 mengusulkan perpanjangan usia pensiun bagi anggota Polri menjadi 60 tahun, dengan pengecualian bagi mereka yang memiliki keahlian khusus hingga 62 tahun, dan pejabat fungsional hingga 65 tahun.
Pasal-pasal ini menuai kritik karena dianggap dapat memperbesar dominasi Polri dalam berbagai sektor, termasuk ranah siber dan kebijakan intelijen.
- Perbedaan Metode 1 Syawal Antara Muhammadiyah dan NU
- Daftar Perusahaan Penyebab Bencana Alam di Cijeruk dan Sukabumi
- Kekhawatiran Kembalinya Kekuatan Militer di Indonesia Bikin Investor Korea Resah
Kritik dan Penolakan dari Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil menilai beberapa ketentuan dalam RUU Polri berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Kewenangan Polri dalam melakukan pemblokiran atau perlambatan akses internet, misalnya, dinilai rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mendesak DPR agar tidak menyusun undang-undang secara serampangan.
"Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini," jelas Isnur di Jakarta, dalam kesempatan berbeda.
Ia juga meminta agar DPR memprioritaskan pembahasan RUU lain yang lebih mendesak, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, dan RUU Masyarakat Adat.
Puan Maharani menegaskan bahwa dokumen yang beredar di publik, baik berupa Surpres maupun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Polri, bukanlah dokumen resmi. DPR berjanji akan menyampaikan informasi kepada publik jika Surpres sudah diterima secara resmi.