Saat Bonus Demografi Menjauh dari Visi Indonesia 2045
- Bonus demografi yang digadang-gadang dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara maju terancam gagal panen. Apa yang dicanangkan Bappenas hanya bagus di atas kertas.
Kolom
Asa Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045 terancam gagal total. Bonus demografi yang diandalkan pemerintah untuk mencapai impian itu nyatanya sudah melewati puncaknya pada tahun 2020. Ini 15 tahun lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
Artinya, orang-orang di usia produktif akan semakin berkurang. Padahal, untuk menjadi negara kaya, rumusnya adalah lebih banyak jumlah penduduk yang bekerja ketimbang tingkat usia non produktif.
Bahkan menurut data yang disampaikan Biro Pusat Statistik (BPS) ke Komisi XI DPR, Rabu pekan lalu (28/8), saat ini ada enam provinsi yang akan mengakhiri periode bonus demokrasi kurang dari 10 tahun ke depan. Enam provinsi tersebut di antaranya, Sumatera Barat yang masa bonus demografinya akan berakhir 2030, lalu Jawa Tengah 2034, D.I Yogyakarta 2033, Jawa Timur 2034, Bali 2033, dan Sulawesi Barat 2033. Ada satu provinsi, malah, yang tidak mengalami bonus demografi hingga tahun 2050, yaitu NTT (Nusa Tenggara Timur).
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Hasto Wardoyo menyatakan terlampauinya puncak bonus demografi karena penurunan TFR (rata-rata angka kelahiran) lebih cepat. Dugaan Sebelumnya diperkirakan target TFR sebesar 2,1 (rata-rata kelahiran 2,1 anak per perempuan) baru akan terjadi pada 2024. Ternyata TFR datang empat tahun lebih cepat. Akibatnya, jumlah penduduk usia kurang dari 14 tahun turun drastis, sedangkan jumlah orang lansia meningkat. Ujung-ujungnya jumlah angkatan kerja pun menjadi terbatas.
Ini persoalan sangat serius. Jika suatu negara gagal memanfaatkan bonus demografi, jebakan middle income trap (jebakan negara berpendapatan menengah) akan sulit menemui jalan keluar. Sekadar informasi, pada tahun 2015 PDB per kapita Indonesia sebesar US$3.377. Pemerintah mematok target di tahun 2036 sudah melampaui US$12.233, batas negara berpendapatan menengah. Dan puncaknya di tahun 2045 mencapai US$23.199.
Memang, bukan berarti kita harus pesimistis. Masih ada waktu, meski sangat sempit. Kita masih punya kesempatan menciptakan kualitas SDM sekarang. Ini harga mati. Tak bisa ditawar. Sebab, SDM berkualitas itu baru bisa dipanen 20 tahun lagi. Dan tantangan dalam mengejar kualitas SDM tidak mudah. World Population Review tahun 2024, rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-129 dari 197 negara yang diuji.
Rata-rata IQ orang Indonesia juga jauh di bawah rata-rata IQ penduduk dunia, yaitu antara 85 hingga 115. Secara keseluruhan, sekitar 98 persen orang mempunyai skor di bawah 130, dan hanya 2 persen dari total populasi di dunia yang memiliki skor di atas 130.
Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat 10, hanya lebih baik dari Timor Leste yang juga memiliki IQ rata-rata 78,49. Di peringkat pertama adalah Singapura dengan 105,89, yang juga tercatat menempati peringkat tiga dunia.
Perguruan Tinggi Hanya Pendidikan Tersier
Satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas SDM tentu saja meningkatkan sektor pendidikan. Ini demi mengejar high skill employment (tenaga kerja berketerampilan tinggi).
Sesungguhnya pemerintah sudah menyusun strategi dalam mencapai program Indonesia Emas 2045. Sebagaimana Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045 yang disusun Bappenas tahun 2019, di 100 tahun Kemerdekaan Indonesia rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 12 tahun. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi mencapai 60 persen. Lantas angkatan kerja lulusan pendidikan SMA sederajat dan Perguruan Tinggi mencapai 90 persen.
Tapi agaknya apa yang dilakukan pemerintah hanya bagus di atas kertas. Nyatanya, kendati waktu terus bergulir, pemerintah tidak peka dalam membantu anak bangsa mencapai impian bersama itu.
Betul, anggaran belanja negara terbesar diberikan untuk sektor pendidikan. Untuk Tahun Anggaran 2024 mencapai Rp665 triliun. Setengah dari anggaran itu, yakni Rp356,5 triliun atau 52% digunakan untuk transfer ke Daerah dan Dana Desa. Belum lagi dana yang disalurkan ke Kementerian/Lembaga lain sebesar Rp142,4 triliun. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) hanya mendapat dana Rp98,98 triliun.
Pantas jika UKT (uang kuliah tunggal) perguruan tinggi menjadi mahal. Tak kurang dari mantan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nashir, mengingatkan banyak mahasiswa putus kuliah lantaran biaya UKT tinggi.
Sayangnya tanggapan Kemendikbudristek terhadap maraknya protes mahasiswa sangat berlawanan dengan apa yang telah disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pelaksana Tugas Sekretaris Ditjen DiktiTjitjik Sri Tjahjandarie dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri, belum lama ini menyatakan bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. “Prioritas pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, program ini mencakup pendidikan SD, SMP, dan SMA,” ujarnya.
Tampak jelas koordinasi antar Kementerian/Lembaga Negara tak berjalan baik. Sebagai negara yang mempunyai mimpi menjadikan industri sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi apa yang disampaikan Kemdikbudristek sungguh bertentangan dengan Visi Indonesia 2045. Pada satu abad Kemerdekaan RI, pemerintah mencanangkan peranan sektor industri meningkat dari 18,67 persen menjadi 26 persen terhadap PDB.
Peningkatan kualitas dan daya saing SDM wajib diperhatikan, mengingat pemerintah mematok penguatan struktur ekonomi kreatif dan dijital. Terintegrasinya transformasi dijital bertujuan mendorong produktivitas dan efisiensi ekonomi.
Angka Korupsi Sungguh Fantastis
Satu hal yang juga tak boleh dikesampingkan adalah pembangunan hukum serta pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tentu saja pembangunan industri berkaitan erat dengan penegakan hukum. Saat ini penanaman modal asing yang masuk lebih banyak ke sektor pertambangan padat modal. Tak heran jika angka investasi di era pemerintahan Jokowi yang selalu memecahkan rekor tak diikuti penyerapan tenaga kerja yang signifikan.
Alhasil pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang meningkatkan perekonomian dalam lima tahun terakhir hanya bisa menyerap 2 juta tenaga kerja. Sebagai perbandingan di periode 2009-2014 menurut Badan Pusat Statistik ada 15,6 tenaga kerja yang terserap.
Kepastian hukum tentu saja akan berdiri sejajar dengan tingginya investasi yang masuk. Saat ini Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di angka 34. Level itu menunjukkan Indonesia tergabung dalam 2/3 negara yang memiliki IPK di bawah rata-rata global. Visi Indonesia mematok target IPK 65, di level menengah.
Tercapainya level itu diharapkan dapat meningkatkan industri pengolahan nan padat karya dari manca negara sudi menanamkan uangnya. Tapi tahu sendiri, pemerintah malah mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal nilai korupsi belakangan ini sungguh fantastis: dari belasan triliun hingga 300 triliun rupiah!
Semoga Visi Indonesia 2045 tak menjadi sekadar ilusi.