Sah! UU MLA Bisa Tarik Duit RI di Swiss Lebih dari Rp10.000 Triliun
Ketua Pansus RUU MLA RI-Swiss DPR Ahmad Sahroni mengatakan dengan disahkannya UU ini, maka diperkirakan ada lebih dari Rp10.000 triliun pajak yang ditarik dari dana WNI di Swiss.
Nasional
JAKARTA – Mutual Legal Assistance (MLA) RI-Swiss akhirnya disahkan DPR menjadi Undang-undang yang memungkinkan Indonesia menarik dana lebih dari Rp10.000 triliun dari Swiss.
Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 14 Juli 2020, menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi UU.
“Apakah dapat disetujui RUU tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi UU?” tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat menjadi pimpinan sidang, dilansir Antara.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Saat itu, seluruh anggota DPR yang hadir menyatakan RUU tersebut disetujui menjadi UU. RUU ini terdiri dari 39 pasal yang mengatur pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, hingga penyitaan aset.
Ketua Pansus RUU MLA RI-Swiss DPR Ahmad Sahroni mengatakan dengan disahkannya UU ini, maka diperkirakan ada lebih dari Rp10.000 triliun pajak yang ditarik dari dana WNI di Swiss.
“Perkiraannya sekitar Rp10.000 triliun, namun untuk angka pastinya Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang lebih mengetahui pastinya,” ujar Sahroni yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem.
Kejar Aset di Swiss
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengatakan bahwa perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Indonesia dan Swiss memberikan dasar hukum bagi kedua negara untuk dapat melaksanakan bantuan hukum dalam tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan.
Selain itu dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan menyangkut penelusuran, pemblokiran, penyitaan, pembekuan dan perampasan hasil tindak pidana.
“Kita berharap UU perjanjian bantuan hukum ini dapat meningkatkan efektifitas kerja sama pemberantasan tindak pidana yang bersifat transnasional, meliputi tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan fiskal,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, dalam Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam masalah Pidana antara Indonesia dan Konfederasi Swiss diatur juga mengenai asas retroaktif yaitu memungkinkan dilakukannya permintaan bantuan hukum timbal balik terhadap tindak pidana yang proses hukumnya dimulai sebelum berlakunya perjanjian ini.
“Pemberlakuan asas retroaktif dalamperjanjian ini akan menguntungkan Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya pengembalian asset atau kerugian negara dari hasil tindak pidana yang di tempatkan di Swiss secara lebih optimal,” imbuhnya.
Ahmad Sahroni dalam pidatonya mengatakan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik RI-Swiss itu di antaranya mengatur bantuan pelacakan, penghadiran saksi, hingga permintaan dokumen. Selain itu juga mengatur terkait penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengambilan asset.
Pemerintah melalui Menkumham telah menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana MLA antara Indonesia dengan Konfederasi Swiss pada 4 Februari 2019 lalu Bern, Swiss.
Setelah ditandatanganinya perjanjian antara RI-Swiss tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, pemerintah Indonesia dan pemerintah Swiss perlu melakukan ratifikasi untuk pemberlakuan perjanjian tersebut bagi kedua belah pihak sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Indonesia dan Swiss. (SKO)