Ilustrasi pabrik Tesla.
Dunia

Saham Tesla Makin Merosot, Twitter Jadi Kambing Hitam

  • Saat ini, Tesla kehilangan market cap hingga US$900 miliar atau kisaran Rp14 kuadriliun
Dunia
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

CALFORNIA - Saham Tesla tampaknya mengalami awal tahun yang buruk. Setelah kinerja menurun tahun lalu, performansi saham teknologi ini makin merosot pada 2023.

Pada penutupan perdangan pekan ini, saham Tesla terpantau turun hingga 12%. Penurunan terjadi setelah produsen mobil listrik itu mengumumkan penurunan penjualan pada kuartal keempat tahun lalu.

Turunnya harga saham Tesla membuat kinerja emiten secara total turun 65%. Saat ini, Tesla kehilangan market cap hingga US$900 miliar atau kisaran Rp14 kuadriliun (asumsi kurs Rp15.500 per dolar AS).

Mengutip Insider Senin, 9 Januari 2022, merosotnya nilai saham Tesla berjalan seiring dengan aksi akuisisi yang dilakukan oleh sang CEO, Elon Musk.

Kala itu, pemegang saham khawatir bahwa Musk akan mengaihkan perhatiannya dari Tesla. Ini diperparah dengan kondisi pembuat mobil tersebut bergulat dengan penurunan permintaan.

Belum lagi adanya peraturan AS yang lebih ketat tentang kredit kendaraan listrik serta perlambatan produksi di Shanghai karena infeksi COVID-19 pekerja meningkat.

Menanggapi penurunan kinerja yang dialai Tesla, sejumlah analis mengemukakan beragam pendapat. Ekonom peraih Nobel Paul Krugman misalnya yang berpendapat bahwa dukungan pada Musk adalah sebuah kesalahan terhadap pasar.

Ia menyebut bahwa Tesla adalah merek yang basis pelanggannya sebagian besar terdiri dari budaya liberal yang kaya yang tertarik sebagian oleh persepsi Elon Musk dengan kepribadiannya.

Karenanya, dukungan Musk terhadap beberapa teori konspirasi termasuk MAGA (Make America Great Again) adalah sebuah teknik pemasaran yang salah.

"Mengingat semua itu, dukungan publik Musk terhadap teori konspirasi MAGA adalah langkah pemasaran yang hampir tak terbayangkan, yang secara praktis dirancang untuk mengasingkan pembeli utamanya," tulis Kurugman seperti dikutip TrenAsia.com dari New York Times.

Penilaian serupa juga diberikan oleh ahli ekonomi dari Wharthon, Jeremi Siegel. Ia menyatakan bahwa masalah utama pada kinerja Tesla yang sesungguhnya adalah ekspektasi yang terlalu tinggi.

Hal ini mengacu pada penilaiannya terhadap perusahaan pembuat mobil listrik itu berdasarkan perhitungan persahaan dan sahamnya.

Ia menambahkan, penilaiannya memuncak pada rasio harga-ke-pendapatan ke depan sebesar 180 kali lipat pada akhir 2021, tahun di mana ia mulai menghasilkan keuntungan. Saat ini diperdagangkan sekitar 25 kali, terendah yang pernah ada.

"Setiap saham yang dikirim lebih dari 50 kali laba berkinerja sangat buruk di masa depan. Harganya, bukan perusahaannya, yang menyebabkan masalah bagi investor," kata Siegel.