Pekerja di PT Timah. (timah.com)
Nasional

Salah Kaprah Kerugian Korupsi Timah Rp300 Triliun Menurut Ahli

  • Untuk menghitung jenis kerugian tersebut, diperlukan keahlian khusus di luar kompetensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pakar hukum Prof. Romli Atmasasmita memeberikan kesaksian sebagai Ahli a de charge (meringankan), dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT Timah Tbk. 

Romli menegaskan bahwa penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi harus dilakukan secara akurat dan sesuai aturan hukum. Ia menyebutkan bahwa penghitungan tersebut adalah tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Pemeriksaan Keuangan Negara.

Romli menjelaskan perbedaan mendasar antara kerugian keuangan negara dan kerugian negara dalam konteks hukum. Kerugian keuangan negara secara spesifik berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan anggaran negara, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal ini, kerugian keuangan negara mencakup pelanggaran yang langsung berdampak pada pendapatan atau pengeluaran yang menjadi tanggung jawab negara.

Sementara itu, kerugian negara memiliki cakupan yang lebih luas dan tidak selalu berhubungan langsung dengan anggaran negara. Kerugian ini dapat mencakup kerugian non-keuangan, seperti kerusakan lingkungan, pelanggaran hak milik negara, atau kehilangan potensi pendapatan. 

Untuk menghitung jenis kerugian tersebut, diperlukan keahlian khusus di luar kompetensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebagai contoh, dalam kasus kerusakan lingkungan, perhitungan kerugian biasanya dilakukan oleh ahli lingkungan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan ilmu tersebut.

“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah," terang Romli dalam sidang pemeriksaan ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dikutip Selasa, 26 November 2024.

Putusan MK tentang Kerugian Negara dan Kasus Korupsi Timah 

Romli mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus istilah "dapat" dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Dengan putusan ini, kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti (actual loss), bukan sekadar perkiraan. Perkiraan kerugian, menurutnya, tidak bisa dijadikan dasar untuk memutuskan perkara hukum.

“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” tambah Romli.

Dalam kasus yang melibatkan PT Timah Tbk, kerugian negara diperkirakan mencapai angka fantastis sebesar Rp300 triliun. Kasus ini menyasar sejumlah pihak, termasuk mitra kerja swasta dari anak usaha BUMN tersebut, seperti Tamron yang terlibat melalui CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM), serta sejumlah tokoh lainnya, yakni Achmad Albani, Hasan Tjhie, dan Kwan Yung alias Buyung. 

Para terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, Tamron menghadapi dakwaan tambahan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dalam sidang pemeriksaan ahli, Romli Atmasasmita menyoroti laporan kerugian negara yang digunakan sebagai dasar penuntutan dalam kasus ini. Menurut Romli, laporan tersebut tampak terlalu dipaksakan karena didasarkan pada perkiraan semata, tanpa menghadirkan kerugian konkret yang telah diverifikasi secara resmi oleh lembaga yang berwenang. 

Ia menegaskan bahwa penghitungan kerugian negara tidak boleh hanya mengandalkan asumsi atau estimasi, melainkan harus memenuhi prinsip actual loss, yaitu kerugian yang nyata dan dapat dibuktikan secara akurat. Selain itu, ia mengkritisi fokus dakwaan yang menyasar pihak swasta sebagai mitra kerja, padahal tanggung jawab utama terhadap kerugian semestinya lebih banyak berada pada pengelola anggaran negara.

Romli juga mempertanyakan apakah kasus ini telah mencerminkan keadilan substantif, mengingat mitra kerja swasta hanya memiliki peran terbatas sebagai pihak pelaksana. Menurutnya menjadikan mitra swasta sebagai target utama tanpa memperjelas peran pengelola anggaran dalam kasus ini berpotensi menciptakan ketidakadilan.