Karyawan berkatifitas dengan latar layar monitor pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, 8 September 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Bursa Saham

Satu Bulan Prabowo-Gibran: IHSG Anjlok 7,46 Persen, Faktor Domestik atau Global?

  • Bank Indonesia diperkirakan akan melanjutkan pendekatan defensif untuk menjaga stabilitas moneter.

Bursa Saham

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Selama satu bulan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat kesulitan menembus zona hijau. Sebaliknya, IHSG justru tercatat mengalami penurunan sebesar 7,46% sejak pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024, lalu.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, pada Senin, 21 Oktober 2024, atau sehari Prabowo dilantik IHSG ditutup melemah 0,01% ke level 7.759. Nahasnya, penurunan itu terus berlanjut dan membawa IHSG ke level 7.180 hingga perdagangan Kamis, 22 November 2024, kemarin. 

Artinya, dalam waktu sekitar satu bulan pemerintahan Prabowo, IHSG telah berkurang 579 poin, atau setara dengan 7,46%, mencerminkan sentimen pasar yang kurang positif terhadap kondisi ekonomi di bawah kepemimpinan baru. Lalu apa yang menyebabkan penurunan tajam IHSG? 

Penurunan tajam IHSG tidak terlepas dari dinamika global, terutama hasil Pemilu Amerika Serikat pada 5 November 2024, yang mengantarkan Donald Trump kembali ke Gedung Putih. Kemenangan ini menciptakan guncangan di pasar keuangan global, termasuk Indonesia. IHSG tercatat turun 2,45% ke level 7.308,67 pada perdagangan Rabu, 13 November 2024.

Ekonom Senior PT Bahana TCW Investment Management, Emil Muhammad mengatakan setelah pengumuman kemenangan Trump. Ketidakpastian arah kebijakan Trump menjadi faktor utama kekhawatiran pasar. 

Emil menjelaskan bahwa dominasi Partai Republik di Senat dan House of Representatives memperkuat posisi Trump dalam menjalankan kebijakan yang lebih agresif. Hal ini memicu perubahan besar di pasar global, termasuk lonjakan yield US Treasury dari 3,7% pada September menjadi 4,45% pada November 2024, mendorong aliran modal keluar dari negara berkembang seperti Indonesia. 

“Selama periode 6-12 November 2024, terjadi arus keluar dana asing senilai Rp14,17 triliun, terdiri dari jual neto Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp6,05 triliun dan jual neto pasar saham sebesar Rp8,12 triliun,” jelasnya dalam keterangan resmi pada Jumat, 22 November 2024.

Kebijakan Ekspansif Trump

Emil mencatat bahwa Trump mengusung beberapa kebijakan ekspansif yang menarik bagi investor global, di antaranya pemotongan pajak perusahaan dari 21% menjadi 15%, mendongkrak potensi EPS perusahaan AS.

“Kedua, Penurunan pajak penghasilan individu, menjadikan pasar keuangan AS lebih kompetitif. Ketiga, tarif impor terhadap beberapa negara, terutama China, yang memicu inflasi domestik namun memperkuat pasar AS,” jelasnya.

Oleh sebab itu, kata Emil, kombinasi kebijakan Trump ini membuat pasar AS semakin atraktif dibandingkan negara berkembang, seperti Indonesia, yang menghadapi capital outflow besar-besaran.

Langkah Bank Indonesia

Kendati begitu, Emil bilang bahwa Bank Indonesia langsung merespons tekanan ini dengan langkah antisipatif, menaikkan suku bunga SRBI sebelum Pemilu AS. “Strategi ini terbukti efektif menjaga stabilitas nilai tukar, menjadikan Rupiah mata uang terkuat di Asia pasca Pemilu, dengan penguatan 0,5%,” jelasnya.

Ke depan, Bank Indonesia diperkirakan akan melanjutkan pendekatan defensif untuk menjaga stabilitas moneter. Di sisi lain, pemerintah sebagai otoritas fiskal dapat meluncurkan kebijakan ekspansif untuk menjaga daya beli Masyarakat.