Karyawan berbincang dengan latar gedung perkantoran di Jakarta, Selasa, 10 Mei 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Industri

SDM Liabilitas Atau Aset?

  • Tim pencatatan keuangan perusahaan (financial accounting) kerap menghindari pencairan untuk aktivitas perekrutan, pelatihan dan kompensasi yang diberikan kepada SDM karena “biaya-biaya” yang ditimbulkan.

Industri

Yosi Winosa

JAKARTA - Sumber daya manusia (SDM) kerap diperlakukan sebagai pos kewajiban (liabilitas) ketimbang aset dalam laporan neraca sebuah perusahaan. Tim pencatatan keuangan perusahaan (financial accounting) kerap menghindari pencairan untuk aktivitas perekrutan, pelatihan dan kompensasi yang diberikan kepada SDM karena “biaya-biaya” yang ditimbulkan.

Profesor Manajemen Bisnis di Wharton School, University of Pennsylvania, Peter Cappeli menilai, banyak praktik pengelolaan SDM yang sulit dijelaskan secara pencatatan keuangan. Misalnya saja, banyak perusahaan terobsesi dengan biaya minimum untuk setiap perekrutan namun menghabiskan begitu sedikit waktu untuk menganalisa apakah mereka mendapatkan karyawan yang baik? 

Atau mengapa perusahaan memberikan pelatihan yang minimum padahal memahami itu untuk meningkatkan kinerja dan banyak kandidat yang rela bernegosiasi gaji untuk mendapatkan pekerjaan? Mengapa perusahaan menunda untuk merekrut atau membuka lowongan pekerjaan dan membiarkan pekerjaan tidak terselesaikan? Mengapa perusahaan menghabiskan begitu banyak biaya untuk menyewa tim dari vendor ketimbang mempekerjakan sendiri?

“Jawabannya adalah karena perusahaan memperlakukan SDM sebagai biaya. Meskipun ada jargon investasi pada SDM, kenyataannya biaya pelatihan SDM dicatatkan sebagai beban rutin (current expense) atau biaya tetap (fixed cost) seperti halnya gaji,” kata Cappeli di laman Harvard Business Review dikutip Rabu, 1 Februari 2023.

SDM Tak Diperlakukan Sebagai Aset

Di Amerika Serikat misalnya, yang mana perusahaan menganut rezim pencatatan Generally accepted accounting principles (GAAP) oleh Financial Accounting Standards Board (FASB), menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki nilai termasuk aset, namun hanya jika dimiliki oleh perusahaan. Sehingga SDM tidak dianggap sebagai aset, bahkan jika ia bekerja lazimnya lebih lama dari usia depresiasi sebuah aset.

Bahkan jika perusahaan mengakuisisi sebuah unit bisnis kompetitor yang tujuannya untuk mengakses SDM terampil mereka, transaksi ini tidak bisa dicatatkan sebagai investasi.

Rezim GAAP juga memungkinkan perusahaan melakukan depresiasi terhadap satu aset, untuk mengoffset (mengimbangi) kewajiban. Sementara pada kasus akuisisi SDM berbeda. Misalkan sebuah perusahaan mengeluarkan banyak biaya untuk membawa tim ilmuwan komputer yang hebat yang menjadi inti dari strategi baru bisnisnya. 

Akuisisi SDM ini akan dicatatkan dalam pos beban rutin yang harus sepenuhnya dipotong (deducted) dari penghasilan kena pajak pada tahun mereka dipekerjakan, meskipun manajer bisnis tidak berharap untuk mulai mendapatkan nilai dari mereka setidaknya untuk satu dua tahun ke depan.

Hal itu dapat menyebabkan perusahaan mendapat tekanan besar pada pendapatannya di tahun itu, dan jika tidak memiliki cukup dana untuk menutupi biaya, keseluruhan operasi akan tampak merugi, tanda bahaya besar bagi investor. 

Sebuah perusahaan juga tidak dapat mencatatkan investasi pada karyawannya di pembukuan tahun yang sama karena aturan akuntansi mengatakan bahwa ia tidak dapat berinvestasi pada sesuatu yang bukan miliknya. 

Misalkan sebuah perusahaan mengirim seorang karyawan ke kursus pemrograman komputer yang mahal yang tampak sebagai sebuah investasi karena percaya karyawan itu akan berharga untuk suatu saat nanti. 

Tetapi aturan akuntansi menetapkan bahwa pelatihan semacam itu merupakan biaya yang harus sepenuhnya diimbangi dengan pendapatan yang diperoleh tahun itu. Hal inilah yang memicu program pelatihan dan pengembangan karyawan di AS terus menurun. Saat ini rata-rata perusahaan AS mengisi 70% lowongan mereka dengan merekrut karyawan dari luar. 

Dan aturan akuntansi bahwa perusahaan tidak dapat mendepresiasi investasi dalam sumber daya manusia seperti yang mereka lakukan pada aset fisik menciptakan masalah baru, perusahaan tidak memiliki cara yang setara untuk merencanakan dan menganggarkan penggantian SDM kunci.

Kompensasi Dianggap Sebagai Liabilitas

Banyak kompensasi karyawan termasuk cuti, izin sakit, asuransi kesehatan ataupun program pensiun sesuai rezim GAAP diperlakukan sebagai liabilitas (kewajiban) dalam laporan neraca, yang harus diimbangi oleh aset lancar. 

Tren baru soal cuti tak terbatas di Silicon Valley adalah contoh yang paling cocok. Biasanya, hak cuti didapatkan searah dengan lamanya SDM berkarier di satu perusahaan. Mereka juga tetap dibayar saat mengajukan cuti.

Dengan bentuk komitmen implisit berbalut nama unlimited vacation (cuti tak terbatas), perusahaan bisa mengurangi kewajiban-kewajibannya pada pembukuan mereka. Itulah mengapa banyak perusahaan saat ini termasuk juga startup mempromosikan cuti tak terbatas, yang tujuan sebenarnya untuk memangkas pos kewajiban. 

Program pensiun bahkan bagi sebagian perusahaan seolah menjadi kewajiban terbesar yang dimiliki perusahaan. Perlu mempercantik laporan keuangan dalam waktu cepat? Coret saja dana pensiun dan pindah ke program pensiun iuran pasti. 

Yang Sebaiknya Dilakukan

Hampir semua orang kecuali akuntan memiliki setiap insentif untuk melaporkan lebih banyak informasi tentang biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pelatihan dan pengembangan SDM dan memperlakukannya sebagai investasi. 

Saat investor bisa melihat begitu banyaknya biaya administrasi yang digunakan untuk meningkatkan ketrampilan karyawan dalam melakukan pekerjaan mereka, justru saat itulah perusahaan akan terlihat lebih berharga di mata investor. Pendekatan ini juga akan mendorong perusahaan untuk menjauh dari praktik yang kontraproduktif yang didorong oleh pendekatan akuntansi saat ini.

Perusahaan yang melihat SDM sebagai sumber keunggulan kompetitif juga dapat meminta vendor mereka untuk melaporkan setiap tindakan yang menunjukkan praktik buruk, seperti biaya turnover SDM dan yang baik seperti investasi pelatihan. Informasi tersebut membantu pelanggan menilai vendor secara objektif, apakah janji manis vendor dapat dipercaya jika setengah dari karyawannya berhenti setiap tahun misalnya?

Upaya yang lebih serius bisa dilakukan dengan mengusulkan kepada otoritas pasar modal untuk mewajibkan pos biaya yang lebih terperinci dalam laporan keuangan mereka.

Misalnya berapa biaya perusahaan untuk pekerja selain karyawan mereka sendiri? Investor tidak akan tahu seberapa efisien operasi ketika biaya tenaga kerja seperti pekerja kontrak disembunyikan.

Atau berapa biaya yang dihabiskan untuk pelatihan dan upaya pengembangan lainnya? Berapa tingkat perputaran karyawan, yang mengukur sumber daya manusia yang keluar? Berapa banyak dari itu karena dipecat atau resign? Informasi ini bersama dengan jumlah total karyawan akan memungkinkan investor memperkirakan jumlah pemecatan, yang merupakan masalah utama manajemen.

Atau juga berapa persentase lowongan yang diisi dari dalam? Itu mengungkapkan sejauh mana perusahaan mengembangkan SDM mereka sendiri atau harus membelinya dari luar.