Sebelum Tujuh Perkara Ini Rampung, Buruh Ngotot Tolak RUU Cipta Kerja
JAKARTA – Pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) di tingkat I oleh pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI diwarnai sejumlah kritik pedas. Penolakan massal datang dari setidaknya 32 konfederasi serikat pekerja dan 17 federasi lainnya yang tergabung aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gakernas). “DPR sangat tergesa-gesa, rapat maraton dan bersikeras segera mengesahkan RUU Cipta Kerja,” […]
Nasional & Dunia
JAKARTA – Pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) di tingkat I oleh pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI diwarnai sejumlah kritik pedas.
Penolakan massal datang dari setidaknya 32 konfederasi serikat pekerja dan 17 federasi lainnya yang tergabung aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gakernas).
“DPR sangat tergesa-gesa, rapat maraton dan bersikeras segera mengesahkan RUU Cipta Kerja,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam keterangan resmi, Senin, 5 Oktober 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dalam tuntutannya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) merumuskan ada tujuh poin dalam RUU Cipta Kerja yang dianggap berpotensi merugikan buruh.
Tujuh Poin Bermasalah
Pertama, RUU Ciptaker menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).
“Dihapuskannya UMK berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan 12,4 juta pekerja di Jawa yang pada 2019 upahnya telah berada di atas UMK,” kata Askar Muhammad, peneliti Ideas dalam diskusi virtual, Rabu, 30 September 2020.
Kedua, pemangkasan jumlah pesangon dari 32 bulan gaji menjadi 25 bulan. Tepatnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.
Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup. “Ini menjadi masalah serius bagi buruh. Sebab masih belum jelas nantinya siapa pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing,” jelas Presiden KSPI, Said Iqbal.
Kelima, jam kerja yang dianggap eksploitatif karena tidak menerangkan secara jelas batasan jam kerja. Poin ini jelas dinilai akan merugikan fisik dan waktu para pekerja. Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.
Dengan masih banyaknya hal yang perlu diluruskan, sejumlah pihak menyayangkan sikap grusa-grusu pemerintah dalam merumuskan RUU Ciptaker. Padahal, jika RUU Ciptaker ini baik adanya untuk kesejahteraan pekerja, pemerintah tetap perlu membawa niat baik tersebut dalam kemasan yang baik pula.
Bukan dengan mengabaikan proses penyerapan aspirasi pekerja yang terkena langsung implementasi dari RUU Ciptaker klaster keternagakerjaan tersebut.
Untuk itu, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mendesak DPR dan pemerintah membatalkan pengesahan RUU Ciptaker pada Rapat Paripurna, Kamis, 8 Oktober nanti.
“Mau tidak mau di masa pandemi, di mana rakyat khawatir tentang persoalan keselamatan kesehatan, tapi kita dipaksa turun ke jalan. Dipaksa harus melawan karena tidak ada iktikad baik pemerintah dan DPR peduli akan nasib rakyat,” tuturnya.