Sederet Kerugian Indonesia jika Target Bauran Energi Diturunkan
- Dewan Energi Nasional (DEN) mengusulkan target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 turun dari sebelumnya 23% menjadi 17-19%
Energi
JAKARTA - Dewan Energi Nasional (DEN) mengusulkan target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 turun dari sebelumnya 23% menjadi 17-19%. Sementara, target EBT pada 2050 meningkat dari 30% menjadi 58-61% dan di 70-72% pada 2060.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, kegagalan menggenjot bauran EBT sebesar 38-40% di 2040 akan membuat Indonesia tidak meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan.
“Di antaranya harga listrik yang lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dikutip dari keterangan resmi, Kamis 1 Februari 2024.
Juga, rendahnya emisi listrik di grid yang menjadi daya tarik investasi. Berkembangnya industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri dan penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan yang lebih besar. Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia.
“Pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada energi terbarukan.”
Baca Juga: Target Bauran Energi Turun, Pengamat: Komitmen Lemah dan Sarat Kepentingan
Fabby menyebut penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44% pada 2030.
Sebagaimana diketahui, JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34 persen di 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu. Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional.
"Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi. Sebagai lembaga yang dipimpin Presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” ungkap Fabby.