Presiden Jokowi dalam Musyawarah Perencanaan Pengembangan Nasional (Musrenbangnas) 2024. (Tangkap Layar YouTube Bappenas RI)
Nasional

Sederet Kontroversi di Ujung Pemerintahan Jokowi

  • Menjelang bulan-bulan terakhir masa jabatannya, beberapa rapor merah mulai mencuat, menyoroti berbagai tantangan dan permasalahan yang belum terselesaikan selama kepemimpinan Jokowi

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memasuki masa akhir pemerintahannya yang akan berakhir pada bulan Oktober nanti. Menjelang bulan-bulan terakhir masa jabatannya, beberapa rapor merah mulai mencuat. 

Hal itu menyoroti berbagai tantangan dan permasalahan yang belum terselesaikan selama kepemimpinannya. Di antara banyaknya rapor merah, berikut sederet kontroversi yang mengemuka di ujung pemerintahan Jokowi. 

Program Tapera

Program Tapera merupakan inisiatif pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap perumahan yang layak dan terjangkau. Mulai dirintis sejak 2019, program tersebut terus menuai pro dan kontra akhir-akhir ini. 

Salah satu kontroversinya adalah kewajiban iuran yang dianggap memberatkan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Pemerintah, di sisi lain, berdalih bahwa iuran tersebut ringan dan terjangkau, serta akan membantu masyarakat memiliki rumah.

Selain itu, ketidakjelasan skema pencairan dana Tapera menimbulkan keraguan tentang manfaat nyata bagi peserta. Pemerintah menjanjikan berbagai manfaat seperti uang muka pembelian rumah, rekonstruksi rumah, dan bantuan uang muka pensiun. 

Namun, ada kekhawatiran terkait pengelolaan dana yang mungkin tidak transparan dan akuntabel. Pemerintah menjamin dana Tapera akan dikelola oleh badan independen yang profesional dan ketat untuk mengatasi kekhawatiran ini.

Kebocoran Data

Baru-baru ini, kebocoran data Pusat Data Nasional (PDN) menggemparkan publik dan memicu kontroversi besar terkait keamanan data pribadi dan nasional. Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Hinsa Siburian, mengungkapkan tidak ada cadangan data pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 yang terkena serangan siber. 

Hal ini menjadi permasalahan utama dalam tata kelola ketahanan siber. Hinsa mengungkapkan bahwa hanya sekitar 2 persen data dari PDNS 2 yang telah tercadangkan di Pusat Data Nasional di Batam.

Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika serta Kepala BSSN untuk menjelaskan keresahan masyarakat terkait gangguan siber yang menyebabkan gangguan pada layanan publik. 

Berdasarkan Pasal 46 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemerintah diwajibkan memberitahukan kepada masyarakat jika ada kegagalan dalam perlindungan data pribadi. 

Rupiah Anjlok

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan signifikan dalam beberapa bulan terakhir, mencapai Rp16.400 per dolar AS pada 28 Juni 2024, level terendah sejak Juli 2020, bahkan hampir menyentuh rekor krisis moneter 1998. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pelaku usaha. 

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan rupiah antara lain kebijakan moneter Bank Sentral AS (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan untuk menekan inflasi, memicu aliran modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Selain itu, ketidakpastian ekonomi global akibat perang di Ukraina, sanksi terhadap Rusia, dan potensi resesi global mendorong investor mencari aset safe-haven seperti dolar AS. 

Defisit neraca perdagangan Indonesia, di mana nilai impor lebih tinggi daripada ekspor, serta perlambatan ekonomi domestik dan penurunan daya tarik investasi juga turut menekan nilai tukar rupiah.

PHK Massal Industri Tekstil

Industri tekstil Indonesia sedang dilanda gelombang PHK massal yang berdampak pada ribuan pekerja. Fenomena ini menimbulkan keresahan dan kekhawatiran di tengah masyarakat, terutama bagi para pekerja yang terancam kehilangan mata pencaharian.

Salah satu penyebab utama adalah penurunan permintaan global terhadap produk tekstil akibat berbagai faktor, seperti inflasi di negara-negara maju, perang di Ukraina, dan gangguan rantai pasokan. 

Kondisi ini diperparah oleh peningkatan biaya produksi, terutama karena kenaikan nilai tukar rupiah dan biaya impor bahan baku, energi, serta ongkos kirim yang turut menekan profitabilitas perusahaan.

Persaingan yang ketat di pasar global, terutama dari negara-negara dengan biaya produksi yang lebih rendah, mendorong perusahaan tekstil di Indonesia untuk melakukan efisiensi, termasuk melalui PHK. 

Tak kalah penting, praktik politik dumping oleh sejumlah negara, di mana produk dijual dengan harga sangat rendah di pasar internasional, juga menambah tekanan pada industri tekstil Indonesia, memaksa banyak perusahaan melakukan langkah-langkah efisiensi drastis, termasuk PHK massal.