Ilustrasi uang rupiah (Foto:EmAji/Pixabay)
Makroekonomi

Sejak Awal Tahun Rupiah Melemah 6,58 Persen

  • Pemerintah juga harus tetap waspada terhadap pergerakan pasar keuangan domestik akibat volatilitas politik global.

Makroekonomi

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menyatakan nilai tukar rupiah telah mengalami pelemahan sebesar 6,58% sejak awal tahun atau year to date (ytd) sebagai akibat dari penguatan indeks dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan ini tidak hanya dialami rupiah, tetapi juga mata uang negara-negara lain.

Hal ini diungkapkan oleh Menkeu dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Juni 2024, pada Kamis 27 Juni 2024. Pemerintah juga  harus tetap waspada terhadap pergerakan pasar keuangan domestik akibat volatilitas politik global.

“Mei mungkin ditambah faktor domestik, menyebabkan penguatan dolar indeks yang kemudian menyebabkan depresiasi dari mata uang-uang termasuk rupiah kita. Rupiah depresiasi 6,58% year to date comparable dengan negara nilai emerging yang lain,” ujar Sri Mulyani.

Nilai tukar rupiah berada di level Rp16.431 per USD pada Mei 2024, sempat mengalami peningkatan, dipengaruhi oleh sentimen domestik maupun global.

Ia menjelaskan, pelaku pasar awalnya mengharapkan penurunan suku bunga The Fed sebanyak 4 hingga 5 kali tahun ini. Namun, Fed Fund Rate tetap stabil di 5,5% dan tidak terjadi tanda-tanda penurunan, bahkan ekspektasi penurunan hanya sekali sepanjang tahun ini.

“The Fed tidak akan segera menurunkan suku bunga Fed Fund Rate. Hal ini menyebabkan ekspektasi pasar kecewa yang tidak tersampaikan, sehingga memicu reaksi pada bulan April hingga Mei,” katanya.

“Namun kita lihat seperti Brasil depresiasinya jauh lebih dalam, atau Jepang mengalami depresiasi sangat dalam level sudah comparable dengan 1.986. Ini tentu timbulkan dinamika negara-negara partner dagang kita,” jelas dia.

Sementara, US Treasury juga mengalami kenaikan. The Fed Fund Rate tetap stabil tanpa penurunan, sedangkan dari sisi fiskal, APBN Amerika Serikat mengalami defisit tinggi. Hal ini menyebabkan US Treasury harus menerbitkan banyak bonds, yang menyebabkan harganya jatuh dan yield naik.

Dia menyebut, US Treasury mencapai 4,25%, yang relatif tinggi sejak April. Pemerintah Indonesia melihat dari pasar keuangan global, termasuk sukuk bonds, sebagai aspek yang perlu diwaspadai.

“Karena dinamikanya muncul dan terjadi rembesan ke dalam adalah melalui pasar keuangan ini,” paparnya.

Selain itu, pasar SBN mengalami capital outflow sebesar Rp42,37 triliun ytd atau Rp7,29 triliun mtd. Pasar saham juga mencatatkan outflow sebesar Rp6,14 triliun ytd atau Rp2,01 triliun mtd.

“Sehingga total outflow sampai dengan Juni mencapai Rp9,3 triliun, ini yang mungkin kita perlu waspadai dalam artian respons dari APBN, fiskal policy adalah nanti kepada berbagai pos yang berpengaruh kepada nilai tukar dan yang immediate tentu dari sisi pembiayaan terutama dari sisi issuen,” terangnya.

Ekskalasi Konflik

Di samping itu, ia juga menyampaikan dari sisi global, eskalasi konflik dan friksi antar negara terus meningkat dari bulan ke bulan. Penyebabnya adalah perang di Ukraina, krisis di Timur Tengah, dan ketegangan antara AS dan China yang semakin memanas.

“Entah karena ada siklus pemilu di masing-masing negara, atau memang suasana meningkat. Ini menimbulkan dampak ketidakpastian global yang sangat tinggi,” ungkapnya.

Berbagai negara mengalami perubahan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi. Negara-negara tersebut mengambil tindakan pre-emptif untuk melindungi kepentingan nasional.

“Dari sisi hubungan antar negara dan kondisi dari hubungan secara global, terjadi perubahan drastis. Peningkatan restriksi dagang mengalami eskalasi munculnya persaingan antar negara makin sengit,” imbuh dia.